Beberapa hari yang lalu, kami Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI) mendapatkan kunjungan dari delegasi FIFPro Dunia dan juga FIFPro Asia. Delegasi tersebut terdiri dari Brendan Schwab, salah satu wakil presiden FIFPro Dunia yang sekaligus juga menjabat sebagai presiden FIFPro Asia. Serta Frederique Winia, divisi hubungan internasional FIFPro dunia, yang juga merangkap sebagai sekretaris jenderal FIFPro Asia.



Kedatangan kedua delegasi tersebut, bertujuan untuk melakukan rapat kerja bersama seluruh jajaran exco dan pengurus Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia. Rapat kerja itu sendiri banyak membahas mengenai segala permasalahan pelanggaran hak-hak para pesepakbola profesional yang terjadi di Indonesia. Baik yang menimpa pesepakbola lokal maupun asing.



Selain daripada itu, kami juga memiliki agenda khusus untuk beraudiensi dengan dua lembaga yang terkait erat dengan segala permasalahan sepakbola di Indonesia. Yaitu PSSI dalam kapasitas sebagai federasi sepakbola yang menaungi seluruh klub sepakbola di Indonesia. Dan juga Menpora sebagai lembaga pemerintah yang menaungi seluruh federasi olahraga di Republik ini.



Ketika bertemu dengan PSSI, kami APPI dan FIFPro menyampaikan beberapa hal dasar yang sejatinya sudah menjadi kesepakatan antara FIFA dan FIFPro, sejak 2 November 2006 yang lalu. FIFA dan FIFPro sepakat untuk saling mengenali, mengakui dan bekerja sama antara satu dengan yang lain. Sebagai perwakilan resmi dari dua belah pihak yang terlibat dalam industri sepakbola, yaitu pemain (FIFPro) dan klub (FIFA).



Nota kesepahaman tersebut ditanda tangani oleh Joseph S. Blatter, sebagai presiden FIFA, dan juga Philippe Piat sebagai presiden FIFPro. Dengan adanya kesepakatan tersebut, maka semua organisasi yang berada di bawah dua organisasi diatas (FIFPro dan FIFA) secara otomatis turut tunduk dengan semua isi nota kesepahaman yang telah disepakati bersama tersebut.



Oleh karena itu ketika APPI dan FIFPro berkunjung ke PSSI, kami mencoba menyampaikan tiga hal yang juga sudah tercantum dalam aturan main antara FIFPro dan FIFA. 



Tiga hal tersebut diantaranya adalah:



Pertama: Meminta PSSI untuk mengakui keberadaan APPI, yang dalam hal ini sebagai satu-satunya organisasi perwakilan pesepakbola profesional di Indonesia, yang diakui dan berafiliasi dengan FIFPro, sesuai dengan nota kesepahaman antara FIFPro dan FIFA.



Kedua: Meminta penyelesaian secara segera, atau selambat-lambatnya sebelum musim baru  dimulai, dalam hal ini mengenai segala permasalahan tunggakan gaji para pesepakbola yang terjadi di Indonesia. 



Dan jika ada klub yang belum menyelesaikan kewajibannya sampai dengan batas waktu yang ditentukan. Maka kami meminta PSSI untuk tidak mengikutsertakan klub tersebut dalam kompetisi yang akan digulirkan musim depan.



Hal tersebut sesuai dengan FIFA licensing agreement, yang selama ini menjadi aturan yang diberlakukan dan diawasi dengan sangat ketat oleh FIFA.



Dan ketiga: Meminta jaminan perlindungan bagi para pesepakbola profesional di Indonesia, baik jaminan asuransi kesehatan, maupun kelancaran gaji sesuai dengan peraturan FIFA, untuk putaran liga yang akan di selenggarakan musim mendatang.



Hal tersebut menyangkut standart minimum kontrak pemain, dan juga jalan penyelesaian sengketa jika suatu saat nanti terjadi sengketa antara pesepakbola dengan klub, atau Dispute Resolution Chamber (DRC).



Namun nampaknya PSSI yang ketika itu diwakili oleh Zulfadly dan Roberto Rouw (Anggota Exco PSSI), serta Azwan Karim (Menejer Humas PT Liga Indonesia), masih bersikeras dengan apa yang menjadi keputusan dan keyakinan mereka, sesuai dengan hasil konggres PSSI beberapa waktu yang lalu.



Yaitu hanya mengakui asosiasi pesepakbola bentukan mereka sendiri APSNI (Asosiasi Pemain Sepakbola Nasional Indonesia), sebagai satu-satunya perwakilan pesepakbola di Indonesia. Mereka juga masih berjanji untuk berusaha segera membantu penyelesaian mengenai seluruh tunggakan gaji pemain. Serta menyatakan telah membentuk dewan penyelesaian sengketa DRC (Dispute Resolution Chamber), jika nantinya terjadi sengketa antara pemain dengan klub.



Dan disinilah permasalahan malah menjadi semakin rumit. Mengapa demikian? Pertama, menjadi hal yang tidak masuk akal ketika asosiasi pemain malah di bentuk oleh PSSI, bukan oleh para pesepakbola profesional itu sendiri. Artinya asosiasi pesepakbola tersebut tidaklah independen. 



Hal tersebut menjadi vital, karena berkaitan dengan apakah asosiasi tersebut nantinya benar-benar menyuarakan aspirasi pesepakbola profesional? atau hanya menjadi boneka dari federasi?



Salah satu contohnya, selama konflik sepakbola di Indonesia dalam kurun waktu dua tahun terakhir, kita tidak pernah mendengar asosiasi pesepakbola yang dibentuk oleh PSSI (APSNI) menyuarakan, atau memperjuangkan hak-hak dari para pesepakbola profesional di Indonesia, yang dalam hal ini terdzolimi.



Kedua, badan penyelesaian sengketa atau DRC (Dispute Resolution Chamber) seharusnya dibentuk berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak, dalam hal ini perwakilan pesepakbola, dan juga perwakilan dari klub.



Mengingat dalam hal ini DRC dapat juga diibaratkan sebagai seorang wasit, yang akan bertugas memimpin sebuah pertandingan sepakbola. Jika wasit yang memimpin pertandingan tersebut condong kepada salah satu pihak, maka hampir dapat dipastikan pihak yang satu lagi hanya akan menjadi bulan-bulanan. Disinilah arti pentingnya, mengapa DRC harus dibentuk berdasarkan rekomendasi dari kedua belah pihak.



Sama halnya dengan DRC yang selama ini menjadi rujukan seluruh masalah yang terjadi antara FIFPro dan FIFA. DRC tersebut terdiri dari 10 perwakilan yang diajukan oleh dan untuk mewakili FIFPro. Terdapat juga 10 perwakilan yang diajukan oleh dan untuk mewakili FIFA. Disamping itu juga terdapat beberapa anggota netral, yang di tunjuk berdasarkan kesepakatan bersama dari kedua belah pihak.



Jika sudah demikian, maka wasit tersebut hampir dapat dipastikan akan bersikap adil dalam memimpin, dan mengawal sebuah pertandingan. Tidak akan condong kepada salah satu pihak.



Akan menjadi sebuah prahara besar, jika asosisi pesepakbola dan badan penyelesaian sengketa (DRC), dua-duanya dibentuk dan berada dibawah kendali PSSI. Maka hal tersebut dapat berpotensi untuk terjadinya pembiaran-pembiaran, yang dalam hal ini akan sangat merugikan para pesepakbola profesional.



Jika para pesepakbola profesional di Indonesia tidak bersatu untuk menolak hal tersebut. Maka dapat kita bayangkan akan seperti apa nasip para pesepakbola profesional kita, dimasa yang akan datang.



Ketika APPI hanya meminta PSSI untuk menjalankan tiga hal dasar, yang juga sudah menjadi kesepakatan antara FIFA dan FIFPro saja PSSI merasa keberatan, maka sebuah pertanyaan layak untuk diapungkan. Ada apa dengan PSSI?



Sedang keesokan harinya saat bertemu dengan Menpora, kami APPI yang ketika itu sudah tidak lagi bersama FIFPro, karena harus terbang ke Hongkong. Meminta kepada Menpora untuk dapat menjalankan fungsinya secara baik. 



Dalam hal ini mengawasi jalannya penyelesaian permasalahan, yang terjadi antara para pesepakbola profesional di Indonesia, dengan klub-klub serta PSSI.



Mengingat sebagai kepanjangan tangan pemerintah, Menpora tentu berhak dan berkewajiban untuk turut serta, mencari jalan penyelesaian terhadap segala permasalahan yang terjadi.



Seperti yang kita ketahui bersama, beberapa waktu yang lalu sekretaris jenderal PSSI Djoko Driono menyampaikan sebuah statement resmi kepada publik. 



Sebuah statement yang kurang kebih berisi sebagai berikut. Seluruh kontestan musim depan diberi kesempatan untuk menyelesaikan segala kewajibannya kepada pemain selambat-lambatnya sebelum kompetisi musim baru digelar. 



Dan bagi klub-klub yang belum menyelesaikan kewajibannya sampai dengan tengat waktu yang ditetapkan, maka tim-tim tersebut tidak akan diikut sertakan dalam kompetisi yang akan bergulir musim mendatang.



Nah menarik untuk kita nantikan bersama, apakah peraturan yang sejatinya sudah ada sejak lama ini ditegakkan. Atau malah kembali dianulir seperti musim lalu, dimana tim-tim yang belum menyelesaikan kewajibannya masih diperbolehkan untuk ikut berkompetisi.



Kita semua para pecinta sepakbola di Republik ini akan menjadi saksi. Apakah PSSI mampu menjaga kredibilitasnya sebagai sebuah organisasi, atau akan kembali melemah seperti sebelum-sebelumnya. Waktu yang akan menjawab semuanya.


 


Selesai....