Teras belakang rumah, Kamis  4 Oktober 2012..

Sore ini hujan turun dengan derasnya membasahi ibukota tercinta, Jakarta. Awan hitam yang bergelantungan disana-sini, membuat keadaan mulai terasa gelap sebelum waktunya. Secangkir teh panas tanpa gula dan sepiring talas rebus menemani lamunan saya diatas meja. Suara gemuruh dan nyala kilat, sesekali menambah dramatis suasana sore ini di kediaman saya tercinta..

Pada bulan ini 47 tahun yang lalu, terjadilah sebuah peristiwa yang menggemparkan seluruh negeri, khususnya Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Menjelang subuh tepat pada tanggal 1 Oktober 1965, terjadi penculikan terhadap 6 jenderal yang saat itu memiliki posisi strategis dan sangat berpengaruh di Angkatan Darat. Sebuah gerakan yang menamakan dirinya Gerakan 30 September, pimpinan Letnan Kolonel Untung Sutopo Bin Syamsuri..

Para jenderal yang diculik tersebut adalah Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal Suprapto, Letnan Jenderal Achmad Yani, Mayor Jenderal M.T Haryono, Brigadir Jenderal D. I Panjaitan dan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo. Disamping 6 jenderal tersebut, terdapat juga seorang prajurit berpangkat Letnan Satu dan juga seorang anak kecil yang turut menjadi korban. Mereka adalah Letnan Satu Piere Andreas Tendean dan Ade Irma Suryani, ajudan dan putri bungsu Jenderal Abdul Haris Nasution..

Beberapa hari kemudian, jenasah 6 jenderal dan seorang Letnan Satu tersebut ditemukan di sumur tua di daerah lubang buaya, pondok gede. Dalam keadaan yang sudah rusak dan mulai membusuk, karena terendam air selama beberapa hari. Peristiwa ini boleh dikatakan sebagai lembaran paling kelam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia..

Peristiwa yang terjadi dalam rentang antara tahun 1965-1966, merupakan tragedi terbesar dan terdahsyat yang pernah dialami bangsa Indonesia sepanjang sejarahnya. Setelah peristiwa pembunuhan 6 jenderal tersebut, suasana politik di Indonesia bergolak memanas. Terjadi pembersihan besar-besaran terhadap orang-orang yang dianggap memiliki keterkaitan dengan Gerakan 30 September, baik dari kalangan angkatan bersenjata, kabinet maupun masyarakat. Terjadi demonstrasi mahasiswa besar-besaran menuntut segera dilaksanakannya TRITURA, yang merupakan refleksi penderitaan rakyat. Hingga pada tahapan yang paling menentukan, yaitu dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret oleh Bung Karno..

Isi dari Supersemar itu sendiri adalah memerintahkan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan. Dalam perkembangannya, tindakan-tindakan yang diambil oleh Letnan Jenderal Soeharto dianggap menyeleweng dari isi dan hakekat dari surat perintah yang diberikan oleh Bung Karno.

Hal tersebut membuat Bung Karno kecewa. Tidak hanya Bung Karno, para petinggi yang  setia dengan Bung Karno pun merasa geram dengan kenyataan tersebut. Mereka meminta Bung Karno untuk bertindak tegas dengan memukul Letnan Jenderal Soeharto dan pasukannya. Salah satu petinggi Angkatan Bersenjata yang secara terang-terangan menyampaikan kesiapannya untuk menerima perintah "Pukul" adalah Komandan Korps Komando (KKO) atau sekarang bernama Marinir, Letnan Jenderal Hartono..

Letnan Jenderal Hartono sendiri memang terkenal sangat setia kepada Bung Karno. Salah satu ucapan Letnan Jenderal Hartono yang terkenal hingga saat ini, adalah ucapan kesetiaan prajurit komando kepada pimpinannya, yaitu "Putih kata Bung Karno, Putih kata KKO.. Hitam kata Bung Karno, Hitam kata KKO"..

Dalam beberapa kesempatan Letnan Jenderal Hartono meminta kepada Bung Karno untuk memberi perintah kepadanya dan pasukannya untuk bertemu dengan Letnan Jenderal Soeharto dan pasukannya, akan tetapi berulang-ulang kali pula Bung Karno menolaknya dengan berkata "Tidak Perlu"..

Bung Karno berpendapat bahwa seburuk-buruknya perang adalah perang saudara, oleh karena itu harus benar-benar dihindari, apalagi bila perang saudara itu hanya ditukar dengan sebuah kekuasaan. Maka sejarahpun mencatat,  jika pada akhirnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966 lah yang menandai tumbangnya Bung Karno. Seorang pejuang besar yang sejak masa muda memperjuangkan negeri ini, hinggalah mencapai kemerdekaannya..

XXXXXX

Hal apa yang bisa kita ambil dari cerita singkat diatas.?

Sikap kenegarawan seorang pemimpin bernama Bung Karno, dengan kebesaran hatinya dalam menyikapi sebuah permasalahan. Apa jadinya jika Bung Karno ketika itu mengikuti perasaan kecewa dalam hatinya, sehingga hanya mengedepankan ego pribadinya, dan tanpa mempertimbangkan akibat yang akan ditimbulkan. Maka saya yakin beliau akan memerintahkan Letnan Jenderal Hartono untuk berhadapan langsung dengan Letnan Jenderal Soeharto. Dan jika hal itu yang terjadi, maka pertumpahan darah besar-besaran karena perang saudara antara sesama Angkatan Bersenjata di Republik ini pun tidak akan dapat dihindari..

Dalam konteks yang kurang lebih sama namun dalam skala yang jauh leih kecil, hal tersebut juga tengah menimpa dunia persepakbolaan di negara kita tercinta ini. Perseteruan ke dua belah kubu yang sudah terjadi selama kurang lebih 2 tahun takhir ini, sudah semakin tidak jelas arah dan tujunya. Walaupun FIFA dan AFC sudah turun tangan secara langsung dengan membentuk Joint Committee, akan tetapi kenyataannya masalah tersebut belum juga terlihat titik temunya..

Perpecahan di tubuh PSSI yang berlarut-larut saja, sudahlah menjadi sebuah tamparan hebat bagi persepakbolaan negeri ini. Disusul lagi dengan terbentuknya dua tim nasional yang saat ini sama-sama merasa siap dan berhak mewakili Republik ini. Tidak cukup hanya sampai disitu, perkembangan terakhir yang lebih gila lagi adalah, adanya wacana dari salah satu pihak untuk mempertemukan kedua tim (PSSI dan KPSI) di lapangan, guna mencari tim terbaik yang akhirnya berhak mewakili Indonesia di AFF Cup 2012, November nanti..

Saya tidak tahu berawal dari kepala siapa ide ini mengemuka. "Menghadapkan pemain dengan pemain  jelas bukan hal yang cerdas dan bijaksana". Ini bukan masalah siapa yang takut kalah atau siapa yang merasa diatas angin. Ingat, "Bola itu bundar", tim yang diatas angin tidak selamanya menang. Begitu pula sebaliknya, tim yang diremehkan sering kali mampu memutar balikkan prediksi banyak orang, banyak contoh mengenai hal tersebut..

Jika pertandingan tersebut benar-benar terealisasi, maka bukan pertandingan sepakbola yang nantinya akan tersaji di lapangan, akan tetapi "Pertumpahan Darah". Ini mengenai harga diri dan ego. Harga diri dan ego siapa.? Mereka-mereka yang duduk di atas sana. Sedangkan pemain.? Hanya menjadi tumbal keserakahan dari para pemimpin persepakbolaan negeri ini..

Saat para pemain sebangsa dan senegara saling cabik di lapangan, bagai ayam aduan. Bapak-bapak yang duduk diatas tribune VVIP tersebut, akan menyaksikan pertandingan sambil harap-harap cemas menunggu siapa yang akhirnya akan tersungkur. Setelah itu mereka yang menang akan membusungkan dada dan bertepuk tangan dengan puas..

Bukan begitu seharusnya cara berpikir seorang pemimpin bapak-bapak. Bukankah lebih banyak sejarah di dunia ini tercipta karena perundingan yang diakhiri dengan jabat tangan, daripada sebuah pertempuran.? Seorang kaisar Jepang pada abad ke-16 bernama Toyotomi Hideyoshi pernah berujar:

"Mereka yang hanya bergantung pada pedang mungkin kuat dalam persenjataan, akan tetapi lemah dalam pikiran"..

Sekali lagi, menghadapkan pemain dengan pemain untuk menentukan tim mana yang berhak mewakili Indonesia di AFF Cup 2012, adalah pemikiran yang jauh dari kata cerdas dan bijaksana. Karena hal tersebut akan semakin memecah belah dan menghancurkan kekuatan kita sendiri..

Saya tidak menyalahkan sahabat-sahabat saya yang saat ini berlatih di Malang, karena merasa terikat dan harus menaati isi kontrak dengan klub mereka masing-masing. Saya juga tidak menyalahkan rekan-rekan saya yang selama ini mempersiapkan diri di Jakarta, karena merasa berada dibawah naungan federasi yang sah. Di sisi lain saya juga tidak akan menyalahkan diri saya, yang dalam hal ini mengambil sikap "Boikot" kepada ke dua tim, baik yang di Malang maupun Jakarta..

Setiap pemain pasti memiliki alasan mengapa pemain tersebut mengambil keputusan untuk bergabung dengan tim nasional, baik di Malang maupun di Jakarta. Begitu pula dengan diri saya, saya tentu mempunyai alasan kuat mengapa memilih tidak bergabung ke Malang atau Jakarta. Dan mengenai apa alasan saya, secara pribadi sudah saya sampaikan secara langsung kepada Coach Nil Maizar (PSSI) dan Coach Alfred Riedl (KPSI)..

Ada satu hal yang patut disayangkan. Tanpa kita sadari, suka tidak suka kita semua para pemain turut serta dalam memelihara perpecahan yang selama ini terjadi. Pemain adalah salah satu faktor paling penting dalam setiap cabang olahraga, termasuk juga sepakbola. Ketika semua pemain dapat bersatu dan menyuarakan hak-hak kita untuk membela tim nasional secara bersama-sama, maka bukan tidak mungkin kita dapat berperan dalam mencari jalan keluar terbaik bagi segala permasalahan persepakbolaan kita ini..

Akan tetapi sebaliknya, selama kita semua terus mengikuti kemana air mengalir seperti saat ini, maka segala upaya penyelesaian akan selalu menemui jalan buntu sampai kapanpun. Akhir sekali, menarik untuk kita cermati kalimat di bawah ini:

"Sebuah bangsa yang terpecah dari dalam, tidak akan pernah tegak berdiri"..

Sebuah kalimat dari salah satu pemimpin besar dunia bernama, Abraham Lincoln..

Selesai..