SEPAKBOLA Indonesia tidak lagi sehat, semua orang mengerti itu. Sepakbola Indonesia sakit parah, semua orang juga sadar hal tersebut. Bahkan ketika kita menyebut, sepakbola Indonesia dalam keadaan koma atau hampir mati pun, saya rasa tidak berlebihan.


Konflik dua tahun terakhir ini, bagaikan sebuah penyakit kronis yang perlahan tapi pasti menggerogoti kesehatan sepakbola Indonesia. Ini berawal dari perebutan kekuasaan yang mengakibatkan dualisme di segala strata, dari klub, liga, federasi, hingga Tim Nasional (Timnas) Indonesia. Kenyataan ini diperparah lagi dengan masalah keterlambatan gaji, di hampir semua lapisan liga yang digelar di republik ini.


Pasal 10.4 Point F.03 FIFA Club Licensing Regulation menyatakan: setiap klub yang mendapatkan lisensi untuk ikut kompetisi harus bebas dari tunggakan terhadap karyawan (termasuk pemain yang masih aktif maupun bekas pemain di klub tersebut).


Kemudian, pasal 17 Point 4 FIFA Regulation on Status and Transfer of Players menyatakan: klub yang melakukan pelanggaran kontrak tidak boleh mendaftarkan pemain baru, baik lokal maupun internasional, selama 2 (dua) periode pendaftaran.


Oleh karena itu, APPI  sebagai perwakilan pemain merasa sangat keberatan dengan surat Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) No. SB-01/BOPI/I/2013, perihal Izin Penyelenggaraan Pertandingan Kompetisi Sepakbola tertanggal 3 Januari 2013. Pemerintah, dalam hal ini BOPI, memberikan izin kepada PT Liga Indonesia untuk menyelenggarakan Liga Super Indonesia musim 2012-2013.


Berdasarkan hal tersebut, maka kami menulis surat kepada BOPI dengan No.: 01/LT/APPI/2013 tertanggal 4 Januari 2013. Dalam surat itu, kami menyatakan keberatan dan mempertanyakan dasar serta pertimbangan BOPI dalam menerbitkan izin penyelenggaraan liga.


Sedangkan Plt. Menpora (Agung Laksono) selaku pembentuk BOPI telah menerbitkan siaran pers pada 4 Januari 2013, yang pada intinya pemerintah tidak akan memberikan izin penyelenggaraan liga musim kompetisi 2012-2013. Dengan alasan, klub yang akan mengikuti kompetisi belum menyelesaikan kewajiban pembayaran gaji kepada para pemainnya. Di sisi lain, klub-klub tersebut juga masih enggan mengeluarkan izin, bagi para pemainnya yang dipanggil ke Timnas.


Disini terlihat jelas bahwa ada sebuah kejanggalan dalam persoalan ini. Bagaimana mungkin dua pejabat yang berada dalam satu kementerian mempunyai dua keputusan yang bertolak belakang. Disini surat BOPI tanggal 3 Januari 2013, terkesan mengangkangi Plt Menpora. Hal yang menjadi pertanyaan, apakah BOPI mengeluarkan surat tersebut tanpa koordinasi dengan Plt Menpora? Pasalnya, surat Plt Menpora pada 4 Januari 2013 sendiri, jelas-jelas bertolak belakang dengan isi surat BOPI sehari sebelumnya.


Maka dari itu, guna memperoleh klarifikasi sehubungan dengan hal yang bertentangan tersebut, pada 4 Januari 2013 kami berinisiatif untuk bertemu dengan BOPI. Dan terjadilah audiensi secara terbuka, yang ketika itu juga diikuti oleh banyak rekan wartawan dari media cetak, elektronik, dan online.


Pada kesempatan itu, BOPI menjelaskan bahwa tidak ada pertentangan antara izin penyelenggaraan yang diberikan, dengan siaran pers yang dikeluarkan oleh Plt Menpora. BOPI menyatakan siaran pers dimaksud, justru mengharmonisasikan izin penyelenggaraan yang telah diberikan kepada operator liga, yakni dengan adanya dua tambahan syarat seperti di atas tadi (melunasi gaji pemain dan mengizinkan pemain dipanggil Timnas.


Penjelasan BOPI itu terasa aneh, karena kami jelas-jelas mempunyai data yang membuktikan bahwa masih banyak pemain yang belum dibayarkan hak-haknya, oleh klub yang akan mengikuti ISL 2012-2013. Sehingga jika kita berpegang pada siaran pers Plt Menpora pada 4 Januari 2013, maka seharusnya izin penyelenggaraan liga tidak boleh diterbitkan.


Ketika itu BOPI menjelaskan, bahwa telah menerima commitment letter dari Operator Liga, yakni PT Liga Indonesia. Commitment letter tersebut, berisi kesanggupan PT Liga Indonesia untuk memenuhi dua persyaratan yang tertera dalam siaran pers Plt Menpora. Dan, oleh karena itu, BOPI tetap memberikan rekomendasi. Akan tetapi BOPI juga berjanji, untuk mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan liga, dalam waktu 7 hari. Saat APPI meminta copy commitment letter yang dimaksud, BOPI berjanji akan menyampaikannya di pertemuan berikutnya.


Alhasil, liga pun digulirkan, dan waktu pun berjalan. Pekan pertama liga bergulir, semuanya tampak baik-baik saja. Sampai pekan kedua liga bergulir, kami juga belum melihat ada jalan penyelesaian seperti yang dijanjikan. Bahkan data yang kami terima menunjukkan: jumlah pemain yang mengadukan permasalahan tunggakan gaji semakin bertambah. Selain itu, fakta yang terjadi di lapangan, pemain-pemain yang bermain di ISL tidak juga dapat memenuhi panggilan Timnas, karena tidak diizinkan oleh klubnya masing-masing.


Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka melalui surat kami No.: 10/LT/APPI/2013 tertanggal 23 Januari 2013, kami meminta ketegasan dan konsistensi BOPI untuk melakukan evaluasi terhadap izin penyelenggaraan seperti yang disepakati bersama. Dan guna menindaklanjuti surat kami tersebut, maka pada 23 Januari 2013 itu juga, kami kembali beraudiensi dengan BOPI.


Dalam pertemuan tersebut, BOPI menyampaikan tidak akan mencabut izin penyelenggaraan, karena klub dan operator liga telah menunjukkan komitmennya untuk menyelesaikan kewajiban mereka. Kami pun mempertanyakan ke BOPI, mengenai parameter apa yang digunakan, sehingga menyatakan bahwa komitmen tersebut telah dipenuhi.


Pasalnya, data yang kami terima justru berbicara sebaliknya, di mana hanya pemain dan mantan pemain PSPS Pekanbaru yang baru dibayarkan gajinya antara setengah sampai 1 bulan, dari 10 bulan yang tertunggak. Juga sebagian pemain Deltras Sidoarjo yang dibayarkan sebesar Rp 11 juta, dari 6 bulan gaji yang tertunggak. Uniknya, pembayaran dilakukan dengan cara transfer langsung ke rekening pemain, tanpa adanya pemberitahuan. Mengenai sisa tunggakan, serta gaji pemain-pemain dari klub lain yang masih tertunggak, belum ada titik terang mengenai skema penyelesaiannya.


Pada saat itu kami juga menyampaikan bahwa pada hari yang sama, 23 Januari pagi hari, kami telah bertemu PT Liga Prima Indonesia Sportindo, dalam hal ini sebagai operator IPL. Kepada mereka, kami pun mempertanyakan proses penyelesaian gaji dari pemain-pemain yang berkompetisi di IPL. Dan, kami mengusulkan kepada BOPI untuk juga tidak menerbitkan izin kepada IPL, bila sampai H-1 dari jadwal bergulirnya IPL, tunggakan terhadap pemain belum juga diselesaikan.


Pelanggaran syarat lain yang sangat jelas, yakni pemain-pemain ISL tidak diziinkan memenuhi panggilan tim nasional oleh klubnya masing-masing. Mengenai hal itu, BOPI berkilah bahwa pelepasan para pemain ISL ke Timnas adalah dengan syarat-syarat tertentu. Antara lain dilatih oleh pelatih yang berkualitas, dan juga dibentuk oleh pihak yang netral.


Mendengar penjelasan tersebut, secara pribadi, jujur saja, saya sangat marah dan kecewa. Karena, menurut saya alasan tersebut terkesan dibuat-buat dan sarat akan muatan politis. Ketika itu, di depan rekan-rekan wartawan, saya menyampaikan beberapa poin penting tentang arti "sakral"nya sebuah Tim nasional. Betapa hirarki Tim nasional terlalu tinggi, jika harus dikotori oleh konflik-konflik kepentingan yang terjadi antara kedua belah pihak. 


Karena hal tersebut jelas-jelas bertentangan dengan semangat penyelenggaraan liga, yaitu untuk terwujudnya satu Timnas yang kuat dan berkualitas, demi harga diri dan kehormatan bangsa. Dan, oleh karena itulah, saya memutuskan untuk tetap membela Tim nasional saat Piala AFF 2012 lalu, dengan segala resiko di belakangnya.


 


(Bersambung...)