Sebagian dari rekan-rekan mungkin mengetahui, jika saya adalah salah satu penggemar Bung Karno. Sejak duduk di sekolah menengah atas, saya sudah mulai akrab dengan artikel, buku, majalah atau segala sesuatu yang berkaitan dengan Putra Sang Fajar. Sedikit banyak saya juga mempelajari ajaran-ajaran beliau , utamanya tentang berbangsa dan bernegara.

Beberapa hari yang lalu, saya sempat membaca salah satu buku yang berjudul, "Total Bung Karno" karya Mas Roso Daras. Pada halaman 155 dari buku tersebut, terdapat sebuah poster seruan Pemilihan Umum tahun 60an yang bertuliskan sebagai berikut:

"PEMILIHAN UMUM djangan mendjadi tempat pertempuran, perdjuangan kepartaian jang dapat memetjah persatuan bangsa INDONESIA".

Membaca hal tersebut, seketika saya teringat dengan kondisi yang tengah dialami oleh bangsa kita saat ini. Tahun depan kita akan menggelar hajatan besar, yaitu pemilihan umum. Tidak hanya memilih anggota legislatif, namun kita juga akan memilih orang nomer satu negeri ini, presiden yang baru.

Walaupun perhelatan itu sendiri masih enam bulan kedepan, namun gaung serta manuver-manuver politik para kontestan, sudah sangat gencar dilakukan. Bukan baru-baru ini saja sebenarnya. Kita tentu masih ingat bagaimana beberapa waktu yang lalu, integritas sepakbola tanah air luluh-lantah dan terpecah-belah, oleh pertarungan kepentingan yang sarat akan muatan politis.

Sebagai bangsa rasanya kita telah melupakan akar budaya kita, dalam berbangsa dan bernegara. Tanpa disadari kita telah mendewa-dewakan kepentingan pribadi, golongan, maupun partai yang dalam banyak kesempatan, telah mengakibatkan perpecahan di kalangan masyarakat.

Para elit politik bangsa ini, mendadak menjadi dewa penolong yang selalu memihak kepada kepentingan rakyat. Mereka begitu jeli dan oportunis dalam melihat setiap peluang dan kesempatan. Mereka bahkan rela menutupi wajah asli mereka dengan topeng-topeng kebaikan, yang boleh jadi sebenarnya kurang nyaman, atau kurang pantas juga untuk mereka kenakan.

Di setiap lampu merah, jalan-jalan utama, pertandingan-pertandingan olahraga, atau bahkan di tempat pengungsian bencana sekalipun, menjadi panggung untuk mempromosikan diri, serta mencari simpati masyarakat. Sudah barang tentu lengkap dengan simbol, serta warna kebesaran masing-masing.

Sebagian mungkin memang figur yang baik, serta pantas untuk menjadi pemimpin. Namun sebagian lagi hanyalah benalu, yang ketika terpilih menjadi penguasa nanti, hanya akan menambah penderitaan bangsanya sendiri.

Di bulan ini delapan puluh lima tahun yang silam, tepatnya tanggal 27 - 28 Oktober 1928. Para pemuda negeri ini yang ketika itu dikomandoi oleh Sugondo Joyopuspito, Joko Marsaid, Muhammad Yamin dan Amir syarifuddin melakukan konggres pemuda di Batavia.

Konggres tersebut menindak lanjuti apa yang telah dilakukan Muhammad Tabrani, saat mempimpin para pemuda untuk melakukan konggres untuk kali pertama. Pada tanggal 30 April - 2 Mei 1926, yang juga dilaksanakan di Batavia.

Delapan puluh lima tahun yang lalu, para pemuda negeri ini berikrar. Ikrar yang menjadi tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan negeri ini. Ikrar yang dianggap sebagai kristalisasi semangat, untuk menegaskan cita-cita berdirinya negara Republik Indonesia yang berdaulat.

Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.


Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.


Dan Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.


Tergambar jelas, jika ketika itu para pemuda bersama-sama menyatukan rasa, semangat, jiwa serta keyakinan dalam satu kesatuan bernama Indonesia. Mereka sadar betul, hanya dengan bersatu padu mereka akan mampu mewujudkan cita-cita luhur, yang selama ini mereka perjuangkan. Tidak ada jong java, jong borneo, jong maluku, jong celebes atau jong sumatra, yang ada hanyalah poetra dan poetri Indonesia.

Demikian juga dengan para pendiri bangsa ini. Entah berapa penjara, hutan belantara, dan tempat pengasingan yang harus mereka singgahi, dalam usaha memperjuangkan kemerdekaan Republik ini. Segala pengorbanan tersebut, mereka lakukan untuk Indonesia bukan diri, golongan, partai atau sukunya sendiri.

Dibalik jeruji besi penjara suka miskin, beralaskan pispot yang dibalik sebagai meja. Bung Karno tetap berjuang untuk bangsa yang dicintainya. Hingga berhasil menyusun sebuah pledoi yang menggemparkan dunia. Kita mengenalnya dengan nama, "Indonesia Menggugat". Apakah Bung Karno melakukan itu hanya untuk orang-orang jawa saja? Tidak.

Demikian hal nya Bung Hatta. Dinginnya lantai penjara Glodok tidak serta merta membekukan jiwa, dan semangat perjuangan beliau. Buku "Krisis Ekonomi dan Kapitalisme", adalah buah pemikiran beliau yang sangat fenomenal. Apakah ketika itu Bung Hatta hanya memperjuangkan orang-orang minangkabau saja? Tidak.

Serta pada suatu pagi pada di tahun 1948. Dalam keadaan sakit, Jenderal Soedirman memutuskan untuk masuk hutan, guna melakukan perang gerilya. Salah satu ajudan beliau ketika itu, sempat mengingatkan perihal kondisi paru-paru beliau yang semakin memburuk.

Apa jawaban Jenderal Soedirman ketika itu? "Yang sakit itu Soedirman, sedang panglima besar tidak pernah sakit". Apakah Jenderal Soedirman melakukan itu hanya untuk kepentingan dirinya dan rakyat Jogjakarta saja? Sudah barang tentu juga tidak.

Tiga cerita singkat diatas adalah contoh kecil dari, betapa sebuah perjuangan harus dibarengi dengan sebuah pengorbanan. Tokoh-tokoh besar tadi melakukannya bukan untuk diri, golongan, partai, atau suku mereka sendiri. Mereka melakukan segala pengorbanan tersebut untuk bangsa dan negara ini, Indonesia.

Tanpa perjuangan dan pengorbanan para pejuang tersebut, tidak akan pernah ada Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat, seperti saat ini. Jika sudah demikian, apakah sekarang kita akan menghancurkan begitu saja, apa yang para pendiri bangsa ini telah perjuangkan dengan cucuran keringat, darah serta nyawa mereka? Tentu juga tidak.

Masa depan bangsa ini ada ditangan kita para pemuda. Salah satu yang paling mudah namun sangat krusial, adalah memilih para pemimpin bangsa yang sesuai dengan hati nurani, serta kepribadian bangsa ini. Sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini.

Sudah saatnya generasi muda bangsa ini terbangun dan sadar, bahwa suara mereka akan sangat menentukan kearah mana perjalanan sejarah bangsa ini. Maka mari kita gunakan hak suara kita dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin.

Gunakanlah hak pilih kita tidak hanya dengan akal yang sehat, akan tetapi juga dengan hati yang bersih. Karena akal bisa saja terpengaruh oleh berbagai kepentingan, sedangkan hati tidak. Hati adalah kompas alami anugerah dari Tuhan, untuk menuntun setiap manusia kepada jalan yang seharusnya, sesuai dengan nurani mereka.

Karena jika tolok ukur untuk menilai sebuah kebenaran adalah kepentingan, maka sejatinya hati kita telah berkarat.

Semoga di peringatan hari sumpah pemuda yang ke delapan puluh lima ini, para pemuda dan pemudi penentu masa depan bangsa ini mengerti. Bahwa identitas asli Republik Indonesia yang kita cintai ini adalah Merah-Putih bukan merah, kuning, biru, hijau, putih atau warna-warna yang lainnya.


Selesai....