Kamis, 14 Agustus 2014, Stadion Utama Gelora Bung Karno.
ENTAH dengan kalimat apa saya harus memulai tulisan ini? Lidah terasa kelu. Jari-jemari seakan terpaku. Pikiran mendadak membeku. Dan angan pun terbang melayang meninggalkan hati yang bak tersayat sembilu.
Bagi masyarakat pecinta sepakbola Indonesia, mungkin laga antara Persija melawan Pelita Bandung Raya yang digelar pada kamis malam hari kemarin, hanyalah sebuah laga biasa, layaknya laga-laga Liga Super Indonesia yang lain. Partai ini bukan lah partai klasik penuh gengsi, atau sarat rivalitas layaknya Persija melawan Persib, atau mungkin Arema melawan Persebaya.
Namun bagi saya, dan pendukung Persija Jakarta (the Jakmania) pertandingan tersebut jelas bukan sebuah partai biasa. Pertandingan syarat emosi penuh nostalgia, yang membuat ikatan batin di antara kami harus terputus untuk sementara waktu. Terlebih lagi drama itu sendiri terjadi di Gelora Bung Karno, sebuah tempat yang akan selalu saya anggap sebagai rumah.
Tidak ada satu pun kalimat yang mampu menggambarkan apa yang saya rasakan malam itu. Saya sadar, jika bagi sebagian orang, hasil dari pertandingan pada malam itu meninggalkan luka dan kekecewaan. Pada akhirnya memang tidak semua orang mengerti dengan apa yang tengah terjadi, dan saya pun tidak ingin meminta mereka untuk memahami.
Sebagai pesepak bola, saya tumbuh dan besar dengan semangat Macan Kemayoran. Stadion Menteng, dan GOR Ragunan telah membentuk karakter saya menjadi seorang pemain yang pantang menyerah, dan selalu berusaha untuk memberikan kemampuan terbaik dalam setiap kesempatan.
Selama lebih dari satu dekade, saya terbiasa untuk melakukan setiap tugas dan kewajiban saya, baik di atas maupun di luar lapangan dengan sepenuh hati. Memberikan seratus persen komitmen (atas nama profesi) terhadap setiap apa yang saya kerjakan, sudah mendarah daging dalam diri saya. Dan dengan etos kerja seperti itu lah, saya pernah diberi kehormatan untuk menjadi komandan pasukan elit "baret oren" dari ibu kota.
Semangat dan karakter itu akan terus ada, dan saya bawa kemana pun saya pergi. Apa yang tersaji malam kemarin hanyalah sebuah rutinitas biasa. Wujud dari loyalitas dan totalitas saya, terhadap sebuah profesi yang sangat saya cintai. Bukan sebagai penegas, atau pembuktian terhadap sesuatu. Karena untuk kesekian kalinya saya harus katakan, bahwa saya tidak perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun. Seperti apa yang selalu saya tekankan, bahwa saya tidak akan pernah menghianati profesi saya.
"Karena yang membedakan antara seorang pejuang dengan pecundang adalah keberanian untuk mencoba, keberanian untuk selalu berusaha, dan keberanian untuk menghadapi segala tantangan dengan apapun keadaannya".
Mengenai apa yang tersaji selama 90 menit di atas lapangan, sejujurnya saya tidak ingin berkomentar sama sekali. Ketika peluit akhir dibunyikan, maka selesai juga tugas dan kewajiban saya sebagai seorang pemain. Saya akan meninggalkan segala drama dan kontroversi yang terjadi di belakang.
Anda sekalian tentu berhak untuk berpendapat, dan pendapat itu tidak harus sama. Kita juga tidak harus dalam kesepahaman, karena di situ lah letak luar biasanya olah raga bernama sepakbola yang sarat emosi, kontroversi, dan juga misteri.
Tetap semangat dan sukses selalu...
Salam,
Bambang Pamungkas