Sejak entah kapan saya memutuskan menutup komentar di akun Instagram saya. Sejak saat itu pula banyak orang yang kecewa, dan kemudian bertanya kepada saya. Pertanyaannya kira-kira begini, “Kenapa sih komentar di Instagramnya ditutup?”. Jawaban "asal" sekena saya biasanya begini, “Dibuka agar apa?”. Pertanyaan yang saya jawab dengan pertanyaan, biar cepat saja pikir saya.

Namun dengan semakin seringnya saya mendapat pertanyaan seperti di atas, maka saya pikir sudah saatnya bagi saya untuk menjawab pertanyaan tersebut, dengan sedikit lebih serius. Dan jawaban saya adalah, “Saya tidak ingin memfasilitasi kebencian”. “Kok bisa?”, mungkin pertanyaan itu yang kemudian akan Anda tanyakan kepada saya. Begini, begini saya akan coba jelaskan.

Seperti yang “sampeyan” semua ketahui, bahwa saya adalah seorang pesepak bola. Sekali lagi perlu saya tegaskan di sini agar tidak terjadi salah paham, jika menjadi model itu hanya pekerjaan sampingan, jadi clear ya Bambang Pamungkas adalah pesepak bola.

Dan sudah menjadi rahasia umum jika dalam dunia sepak-menyepak si kulit bundar ini, akan selalu diikuti dengan sepak-menyepak harga diri, ada persaingan di sana. Walaupun sepak bola sendiri sejatinya dimainkan untuk menjalin persahabatan, namun tetap saja, menjadi yang paling itu hukumnya wajib dalam dunia sepak bola. Ya paling hebat, paling baik, paling kompak, paling suci, paling bersih, paling jago, dan paling, paling yang lain. Persaingan itu terjadi tidak hanya terjadi di ruang lingkup lapangan, namun juga dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam bermedia sosial. Terutama di kalangan suporter.

Artinya, perseteruan di media sosial pun tidak kalah sengit. Bagi pesepak bola atau publik figur di bidang lain yang memiliki banyak pengikut di media sosial, jangan terlalu bangga terlebih dahulu. Karena fakta mengatakan mereka yang “mengintili” Anda itu, belum tentu lho semua menyukai Anda. Bisa jadi mereka mengikuti Anda hanya untuk menunggu moment kapan Anda melakukan kesalahan. Dan ketika itu terjadi, mereka dengan amunisi lengkap (lock and loaded) akan menyerang Anda dengan “tjara seksama, dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja”.

Belum lagi pengguna media sosial yang suka “caper”, mereka yang rela memperbanyak dosa dengan mencaci orang lain (biasanya publik figure), hanya untuk mendapatkan perhatian (balasan). Anehnya, ketika si publik figure tersebut terpancing dan membalas, maka balasan itu akan dicapture, dan disimpan sebagai favorit. Ada kebanggan di sana. Mereka ini orang-orang yang sakit, dan yang model begini ini berserakan di mana-mana.

Dan karena setiap publik figure (termasuk pesepak bola) itu memiliki basis pendukung sendiri, maka ketika si publik figur tersebut diserang, secara otomatis akan ada pasukan yang dengan senang hati membela. Nah disini lah letak permasalahannya. Terjadilah debat kusir dengan bahasa-bahasa kurang pantas, dan berujung pada merebaknya virus kebencian. Pada titik ini lah akhirnya saya memutuskan untuk menutup komentar di akun instagram saya. Saya kok jadi merasa bersalah, karena turut andil dalam memfasilitasi kebencian.

"Cangkeme netijen Indonesia iki pancen ora tau mangan bangku sekolahan", ujar Kyai Semar suatu ketika.

Contoh soal, beberapa waktu lalu ada sebuah akun (twitter) basis suporter yang mencaci saya dengan bahasa yang kurang pantas. Ketika itu saya merespon dengan mengartikan huruf demi huruf dari kata tersebut dengan bahasa yang sangat baik, bahkan boleh dikatakan menginspirasi. Tweet tersebut akhirnya di retweet oleh akun yang mencaci saya tadi. Ada kesan bahwa mereka berhasil menarik perhatian saya. Sekali lagi ada kebanggan di sana.

Singkat cerita akun tadi pun diserang oleh followers saya yang jumlahnya cukup lumayan. Maka terjadilah perang terbuka. Hingga pada akhirnya akun tersebut merasa terancam, dan menghapus tweet mereka untuk saya. Tak lama kemudian akun tersebut meminta maaf kepada saya melalui email. Ia menjelaskan jika tweet tersebut murni kelalaian dia dalam bermain media sosial.

Karena bahasa saya memang sopan, dan tidak ada tendensi negatif sedikit pun di dalamnya. Maka saya pun menjawab, “It’s okey, tidak ada yang perlu dibesar-besarkan, saya tidak pernah menganggapnya sebagai hal yang terlalu serius”. Si pemilik akun nampaknya khawatir, karena ancaman-ancaman tersebut sudah mulai menjurus ke arah yang serius.

Di sini saya sadar, akan begitu besarnya efek media sosial bagi kehidupan riil kita. Twitter masih sedikit lebih “manusiawi”, karena tweet lama secara otomatis akan tertelan dengan tweet yang baru. Sehingga butuh effort lebih untuk mencari tweet-tweet lama. Berbeda dengan instagram yang komentarnya melekat.

Menariknya, interaksi media sosial seperti di atas terutama di Instragram sangat diminati oleh sponsor. Berdasarkan pengalaman pribadi saya, saking berharganya interaksi seperti itu, ada sebuah perusahaan yang rela menulis invoice cukup besar, hanya karena ingin postingan produknya di instagram saya dibuka kolom komentarnya.

Namun dengan gaya orang yang “sok ngga butuh duit” saya pun menjawab, “Maaf, mungkin bisa bekerjasama dengan pesepak bola yang lain saja. Karena sampai saat ini, saya belum berniat untuk membuka kolom komentar di Instagram saya”. Dilema memang, tapi ya itulah resiko dalam mengambil sebuah keputusan.

Jenis pengikut yang suka nyinyir ini biasanya karena ingin mendapatkan panggung. Pengen dikenal orang, dengan “mendompleng” popularitas dari publik figur yang dinyinyirin. Namun tanpa ia disadari “kenyinyirannya” itu dapat, dan berpotensi dimanfaatkan oleh si publik figur itu sendiri. Suka atau tidak suka jumlah pengikut yang jutaan dengan segala kenyinyirannya itu, berpotensi mendatangnya pundi-pundi uang bagi si publik figur.

Semakin ramai yang berkunjung semakin besar potensi jualan si publik figur. Tidak peduli pembahasannya penting atau tidak penting, baik atau tidak baik, bermanfaat atau tidak bermanfaat. Selama “traffic” nya ramai berarti nominal uang. Nah kalo sudah begini menjadi abu-abu, jadi siapa yang memanfaatkan siapa? Apakah followers yang memanfaatkan publik figur? Atau sebaliknya followers yang dimanfaatkan oleh publik figur?

Baik buruknya media sosial ini tergantung niat penggunanya. Menjadi baik ketika media sosial ini digunakan untuk berinterkasi dengan masyarakat (silaturahmi), dan menyebarkan ilmu serta kebaikan. Namun dapat menjadi negatif ketika digunakan untuk menyakiti orang lain, dan menyebar kebencian.

Media sosial adalah puncak kemunafikan manusia, dimana kita dapat berubah menjadi sosok orang lain, siapapun itu tanpa terkecuali. Dengan akun anonim dan berfoto profil telur kita bisa menjadi sosok yang sok alim, sok jago, sok paling benar, sok paling pintar, dan sok-sok yang lainnya. Mereka ini adalah orang-orang yang memiliki krisis kepercayaan diri, tidak semua memang, namun kebanyakan dapat dikatakan demikian.

Berdasarkan apa yang saya sebut di atas, akhirnya saya memutuskan untuk menutup komentar di instagram saya. Toh kalo ada followers saya yang ingin mengkritik, atau berkomentar kan bisa melalui fitur email yang tersedia di akun instagram, atau twitter saya, sehingga mengurangi potensi terjadinya gesekan. Di sini saya menawarkan solusi yang lebih baik, dan lebih mengena. Kirimkan saja kritik Anda sekejam apapun langsung ke email saya.

Keuntungannya adalah kritik akan langsung sampai ke saya, dan pasti saya baca. Mengenai dibalas atau tidak itu tergantung situasi dan urgensinya bagaimana. Kemudian, apa dan bagaimanapun kritik yang Anda sampaikan tidak akan membuat Anda memiliki masalah dengan followers saya, karena mereka kan tidak tahu dan melihat kritik Anda. Bagaimana, bagus kan? esensi dan kenyamanan Anda sama-sama terjaga.

Kecuali jika Anda memang tipe followers "caper' tadi, yang butuh pengakuan dan perhatian orang dalam berinteraksi di media sosial. Jika Anda tipe seperti itu, maka solusi yang saya berikan tadi tidak menguntungkan sama sekali bagi Anda. Dan untuk itu salah angkat tangan.

Jadi jelas ya alasan mengapa komentar di akun instagram saya ditutup. Dan seperti biasa apa yang saya sampaikan ini adalah murni pendapat saya. Jadi Anda sekalian boleh setuju dan boleh juga tidak setuju, bagaimana baiknya saja.

Semoga setelah tulisan ini saya buat, tidak ada lagi bertanya mengenai, “Kenapa sih komentar di Instagramnya ditutup?”.

Selesai….