Leg kedua Final Piala Indonesia 2018, antara PSM Makassar Vs Persija Jakarta akhirnya akan digelar pada hari Selasa, 6 Agustus 2019, bertempat di Stadion Andi Mattalatta Matoangin, Makassar, Sulawesi Selatan. Ini adalah partai tunda dari laga yang seharusnya dimainkan pada tanggal 28 Juli 2019, di tempat yang sama.

Laga final leg kedua Piala Indonesia sendiri tertunda karena insiden pelemparan kepada bis yang membawa pemain dan ofisial Persija oleh oknum pendukung PSM, sesaat setelah meninggalkan stadion pada latihan resmi satu hari menjelang pertandingan.

Sejujurnya saya tidak ingin membahas (berdebat) mengenai insiden yang terjadi, karena kejadian itu sendiri menurut saya sangatlah relatif. Sama halnya dengan kehidupan yang sejatinya dipenuhi oleh hal-hal yang tolok ukurnya sangat relatif. Besar, kecil, enak, hambar, cantik, ganteng, jelek, sakit, parah, berat, ringan, berani, takut, bersih, kotor, hebat, gembira, sedih dan masih banyak lagi adalah contoh hal-hal yang tolok ukur penilaiannya sangat relatif. Tergantung siapa yang menilai, sudut pandang yang digunakan, dan apa alat pembandingnya.

Begitu pula dengan insiden yang terjadi waktu itu. Seberapa berbahaya teror itu? Disengaja atau tidak? Anak-anak, atau orang dewasa yang melakukan? atau seberapa besar dampak psikologis kepada korban dan seterusnya. Semuanya relatif. Itu lah mengapa saya tidak tertarik sama sekali untuk membahas masalah itu, karena bukan itu poinnya.

Poin pentingnya adalah telah terjadi teror (direct threat) yang secara langsung “mengancam” keselamatan pelaku sepak bola. Hal yang seharusnya tidak boleh terjadi dalam sepak bola. Dalam regulasi manapun yang mengatur mengenai pertandingan sepak bola, insiden semacam ini tidak dapat ditolerir.

Kemudian siapa yang pantas untuk disalahkan atas kejadian tersebut? Nah menarik untuk kita kaji terlebih dahulu, apa kira-kira titik awal dari gesekan arus bawah seperti yang terjadi di Makassar kemarin.

Menurut saya pribadi, sentimen antar suporter atau kepada tim-tim tertentu seperti yang terjadi di Makassar ini, adalah efek domino dari ketidaktegasan Federasi, khususnya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan regulasi.

Ambil contoh, sering terjadi perubahan aturan ditengah jalannya kompetisi. Pengurangan, atau bahkan penghapusan hukuman yang sudah diputuskan, dan diberlakukan. Serta pembiaran berkembang luasnya isu-isu sensitif (juara setingan, atau juara liga bisa dipesan) tanpa adanya investigasi untuk mendapatkan status hukum yang pasti.

Beberapa contoh soal yang saya sebut di atas tadi membuat tidak terjadinya efek jera bagi mereka yang melanggar aturan, dan membuat terkesan adanya anak emas dalam sepak bola Indonesia. Hal tersebut diperparah lagi dengan banyaknya petinggi federasi yang memiliki keterkaitan dengan klub-klub tertentu. Membuat potensi terjadinya “conflict of interest” sangatlah besar.

Seperti sebelum-sebelumnya, dalam setiap permasalahan sepak bola di Indonesia hal yang paling "gampang" untuk dilakukan adalah menyalahkan PSSI. Celakanya, faktanya memang tidak ada alasan lain untuk tidak menyalahkan PSSI. Jadi, komentar “Ini salah PSSI” untuk setiap permasalahan yang terjadi dalam sepak bola Indonesia itu sudah menjadi hal yang lumrah, karena memang di sana lah letak permasalahannya.

Yang tidak lumrah itu ketika mereka yang dulu berada dalam ruang lingkup PSSI, kemudian sekarang (kebetulan) berada di luar federasi, dan oleh karena itu kemudian mengkritik buruknya kinerja PSSI, seakan-akan dia bukan bagian dari kebobrokan PSSI di masa lalu. Komentar “provokative” dari "orang-orang sakit" seperti ini lah yang menurut saya sangat berbahaya bagi sepak bola Indonesia.

Saya pikir, pada prinsipnya setiap pesepak bola profesional siap bermain kapan pun dan di mana pun, selama adanya jaminan keamanan bagi keselamatan mereka. Termasuk para pemain Persija, juga PSM. Kali ini mungkin kejadian menimpa para pemain Persija, namun pada kesempatan yang lain bisa jadi akan menimpa para pemain PSM, atau klub-klub yang lain.

Ini adalah partai final, di mana sudah barang tentu di sini kredibilitas penyenggara dipertaruhkan. Saya yakin mereka tidak mahu kehilangan muka, dan oleh karena itu pasti telah berkoordinasi dengan semua unsur terkait untuk memastikan agar laga final nanti terselenggara dengan baik, lancar, dan aman.

Bagi PSM dan masyarakat Makassar, ini adalah moment yang mereka tunggu-tunggu, setidaknya selama 19 tahun terakhir. Dimana setelah era Aji Santoso, Kurniawan Dwi Yulianto, Miro Baldo Bento, Ronny Ririn, Bima Sakti dkk gelar juara seakan enggan singgah ke kota Anging Mamiri. Mereka tentu ingin menghapus dahaga akan gelar tersebut. Apalagi partai penentu akan dilakukan di markas mereka.

Motivasi anak-anak Macan Kemayoran juga tidak kalah tinggi. Gelar Piala Indonesia ini tentu akan melengkapi dua gelar domestik yang mereka raih musim lalu, sekaligus sedikit mengobati kekecewaan suporter mereka atas hasil minor yang mereka raih di liga sejauh ini. Apalagi Piala Indonesia adalah satu-satunya gelar domestik yang belum ada dalam daftar koleksi trophy di lemari Persija Jakarta.

Sedang bagi sepak bola Indonesia, siapapun yang keluar menjadi juara tidak lagi penting. Yang jauh lebih penting dan ditunggu-tunggu adalah, apakah setelah partai final besok akan muncul poros "rivalitas anarkis" baru dalam sepak bola Indonesia. Hal yang sudah barang tentu sama-sama tidak kita inginkan. Apa lagi Persija dan PSM tidak memiliki sejarah permusuhan di masa lalu.

Saya masih ingat, dan terkesan dengan sambutan pendukung PSM ketika laga TSC 2016 antara PSM Vs Persija, tanggal 10 Desember 2016. Dimana ketika itu Persija mampu mencuri 3 poin di Makassar. Saking terkesannya, dalam perjalanan menuju hotel saya sempat membuat cuitan di akun twitter saya @bepe20, isinya sebagai berikut:

“Suporter PSM luar biasa. Kalah di kandang namun sepanjang jalan menuju hotel mereka memberikan applaus kepada bis tim tamu…. #Respect,” tulis saya ketika itu.

Akhir sekali, selamat bertanding bagi Persija Jakarta dan PSM Makassar, semoga partai final selasa sore nanti menjadi pertandingan yang aman, seru, menarik, dan berkualitas layaknya sebuah partai final.

Sekali lagi, di tengah maraknya himbauan perdamaian antar suporter di Indonesia, tidak seharusnya timbul poros permusuhan baru, kita tidak memerlukan itu. Sepak bola tidak seharusnya menjadi sebuah aktifitas yang berbahaya baik bagi pelaku, penonton, maupun masyarakat di sekitarnya.

Karena: “Tidak ada satu kemenanganpun yang sebanding dengan nyawa”.

Selesai….

PS: Bagi seluruh pendukung Persija Jakarta di mana pun berada, sebagai tindakan “preventive” mohon kiranya untuk tidak mendukung tim secara langsung ke Makassar. Saya tidak sedang berasumsi jika pertandingan akan berjalan tidak aman. Namun demikian, demi kebaikan dan kenyamanan bersama mohon untuk sementara waktu menahan diri, dan melakukan “nobar” di lingkungan masing-masing. Tentu saja sambil mendoakan yang terbaik bagi Persija Jakarta. Terima kasih....