Pada sebuah interview, Sapardi Djoko Damono (penyair yang juga guru besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia) pernah ditanya tentang apa arti dari kalimat yang ada dalam salah satu puisi fenomenal beliau, yang berjudul "Aku Ingin". Dimana puisi "Aku Ingin" sendiri isinya adalah sebagai berikut:

 

AKU INGIN

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api, yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan, yang menjadikannya tiada.

Sapardi Djoko Damono - 1989

 

Si pembawa acara ketika itu bertanya sekaligus menerka, apakah kalimat dalam puisi itu dapat diartikan sebagai sebuah cinta yang tak tersampaikan? Dengan segera Pak Sapardi menjawab, "Lho bukan, bukan begitu". "Oh berarti cinta yang tersampaikan?", pembawa acara kembali bertanya. "Tidak juga demikian. Tapi itu cinta beneran, iya itu cinta beneran“, jawab Pak Sapardi sambil tersenyum.

"Menurut Mas Jokpin (Joko Pinurbo) yang dimaksud Pak Sapardi ini kira-kira apa?", tanya pembawa acara kepada tamu yang lain, yang kebetulan juga seorang penyair. "Itu puisi justru paling tidak sederhana. Mencintai dengan sederhana itu mencintai yang tidak sederhana, paling sulit itu. Yang ditulis Pak Sapardi itu sesuatu yang mustahil", Joko Pinurbo menjelaskan pendapatnya.

"Mas Jokpin kalo mencintai seseorang kira-kira seperti apa?”, tanya pembawa lagi.“Hmmm ya seperti, kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api, yang menjadikannya abu itu", jawab Joko Pinurbo yang seketika diikuti tawa semua yang hadir.

Kemudian secara tersirat Pak Sapardi menyampaikan, “Bahwa puisi (kalimat) itu menjadi hidup jika interpretasinya macam-macam (beragam). Jika interpretasinya hanya satu, ya sekali baca (orang paham) sudah habis”.

Prolog di atas ini penting saya utarakan, supaya setelah paragraf ini kita berada dalam dimensi serta frequensi yang sama. Baik untuk mempersingkat waktu, dan agar ndak bertele-tele maka langsung saja kita mulai.

 

2 Juni 2017, Persija Vs Arema, Stadion Patriot Candrabhaga.

Sebelum kick-off (di tengah lapangan) saya berbicara kepada para pemain.

"Kecintaan kita terhadap klub ini tidak sama, namun kecintaan kita terhadap sepak bola dan keluarga, saya pikir sama. Jadi jangan bermain untuk Persija Jakarta, tapi bermainlah untuk diri kalian, anak, istri, pacar, dan orang tua kalian. Ketika kita bermain untuk orang-orang yang kita cintai, maka hal-hal baik akan datang"

Di atas adalah ucapan saya (dua tahun lalu), yang tiba-tiba dalam beberapa hari terakhir menjadi pembahasan panas di kalangan suporter Persija Jakarta. Melihat pembahasan tersebut, sulit rasanya bagi saya untuk tidak terkejut, “Lha pada kemana aja selama ini?”, ujar saya dalam hati.

Awal sekali, saya tidak sedang berbesar kepala dengan merasa jika kalimat saya itu, selevel dengan salah satu bait dalam puisi Pak Sapardi. Ndak, ndak sama sekali ndak. Namun kenyataannya, pada satu titik ada kemiripan di antara keduanya. Yaitu sama-sama membuat orang menerka-nerka, dan pada akhirnya malah salah memahami esensi dari kalimat tersebut.

Bukan kebiasaan saya sebenarnya, menjelaskan kepada mereka yang salah memahami diri, dan pemikiran saya. Orang salah paham dengan Bambang Pamungkas itu kan bukan hal yang aneh. Lagi pula tidak semua hal dalam hidup itu bisa, dan perlu dijelaskan.

Namun karena kesalahpahaman ini berawal dari kalimat yang saya sampaikan, dan akibatnya harus diterima oleh seluruh pemain Persija Jakarta. Maka saya merasa bertanggung jawab secara moral, untuk meluruskan atau melindungi para pemain dari opini yang dibuat berdasarkan pemahaman yang salah (bukan kritik lho ya, kalo kritik sekeras apapun saya malah setuju). Melalui tulisan ini, saya akan coba menjelaskan makna dari kalimat yang sebenarnya sudah crystal clear tersebut.

Mulai dari mana ya kira-kira jelasinnya? Hmmm begini saja, saya akan coba menggunakan analogi agar lebih mudah. Jika saja semua pemain Persija itu kecintaan kepada klub ini berada satu level dengan Ismed Sofyan, maka semua menjadi jauh lebih mudah. Cukup ngomong, "Bermainlah untuk lambang Monas di dadamu", selesai perkara.

Persoalannya level kecintaan setiap pemain kepada klub kan tidak sama. Pemain yang baru datang tiga, dua, atau bahkan baru menjalani tahun pertama di Persija, tidak mungkin disamakan dengan Ismed Sofyan yang sudah lebih dari satu dekade di Persija. Realitanya demikian, tidak bisa dipaksakan. Sayangnya ini sering kali luput dari pemahaman kita.

Oleh karena itu, ketika berbicara kepada mereka saya harus mencari sebuah perumpamaan, yang di mana secara emosional kira-kira semua pemain berada di level yang sama. Maka saya pun memilih kata “keluarga”. Mengapa? karena secara naluri, manusia rela melakukan apa saja jika sudah berkaitan dengan keluarga.

Ijinkan saya memberi contoh. Pada salah satu adegan dalam film “The Blind Side” (2009). Digambarkan, Michael Oher (Quinton Aaron) adalah seorang atlet “American Football” berbakat di salah satu SMA di Amerika Serikat. Dalam film ini tokoh "Big Mike" diceritakan memiliki kecerdasan yang kurang (IQ80), namun demikian ia memiliki badan yang tinggi, besar dan kuat, oleh karena itu ia memilih untuk menjadi pemain bertahan.

Namun setiap turun bertanding, ia tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai pemain bertahan dengan baik. Dia seperti bermain untuk dirinya sendiri. Pelatih pun dibuat frustasi. Segala cara sudah dicoba untuk memotivasi, namun Michael sepertinya tidak merespon dengan baik.

Melihat hal tersebut, pada sebuah pertandingan Leigh Anne Tuohy (Sandra Bullock) Ibu angkat MIchael berinisiatif untuk turun ke lapangan, dan berbicara kepada Michael. Kalimat yang disampaikan Anne kurang lebih demikian, “Mike lihat aku. Dia, dia, dan dia adalah keluargamu (sambil menunjuk pemain-pemain lain). Apa yang akan kamu lakukan ketika saudaramu diserang, dan merasa terancam oleh orang lain?”.

Michael pun mengangguk tanda paham. Setelah itu permainan Michael berubah drastis. Ia menjadi lebih agresif, dan lebih total dengan melakukan segala cara untuk melindungi pemain (keluarga) yang lain. Alhasil berkat permainan apiknya, Michael Oher pun mendapatkan beasiswa penuh untuk bermain di Universitas. Segelah lulus "Big Mike" pun berhasil menembus National Football League (NFL).

Kecintan setiap pemain terhadap sebuah klub bisa jadi tak sama, namun kecintaan (rasa memiliki) mereka terhadap keluarga saya, yakin tidak jauh beda. Jadi bisa dibayangkan, jika semua pemain Persija Jakarta bermain untuk keluarga mereka, seolah-olah jika mereka kalah maka keluarga mereka akan terancam, dan berpotensi tersakiti. Apa yang kira-kira akan mereka lakukan?

Jadi ini bukan tentang rasa memiliki, atau tidak memiliki Persija Jakarta. Ini tentang bagaimana “menyentuh” sisi emosional terdalam pemain, agar mampu mengeluarkan kemampuan terbaiknya, dan melakukan apa saja yang perlu dilakukan di atas lapangan. Karena sekali lagi, faktanya kecintaan setiap pemain terhadap Persija tidak berada di level yang sama.

Ini penting saya utarakan, supaya kita dapat memahami kalimat, “Jangan bermain untuk Persija, tapi bermainlah untuk keluarga kalian”, tersebut dengan lebih mendalam. Sama halnya dengan, ketika misalnya ada salah seorang suporter Persija Jakarta yang “super fanatik”, katakanlah bernama Ruhkin.

Dimana pada suatu ketika si Rukhin ini harus memilih antara menyaksikan Persija bertanding (dalam pertandingan yngg sangat penting), atau dalam waktu yang bersamaan menunggui istrinya yang tengah menyabung nyawa melahirkan anaknya. Kira-kira apa yang akan Ruhkin pilih? Naluri manusia akan menemukan jawabannya sendiri.

Ini yang saya sebut faktor sosio-psikologis dari kapan, kepada siapa, dan untuk apa kalimat (Bermainlah untuk keluargamu) itu disampaikan. Lagi pula mengapa kalimat ini kok baru ramai dibicarakan sekarang? Jikalau ada yang tidak setuju, kenapa ndak didebat dua tahun lalu? Toh kalimat itu saya sampaikan secara terbuka saat konferensi pers. Dan juga saya posting di akun Instagram saya, pada tanggal 2 Juni 2017.

Kenapa saat Persija tampil bagus, kalimat itu ndak dipermasalahkan? Baru ketika Persija berada periode negatif muncul lah komentar, “Pantesan mainnya loyo, tidak ada rasa memiliki klub”, “Main itu buat Persija, bukan buat keluarga. "Memang yang gaji kalian keluarga?”, “Kalo mau main buat keluarga, ya main di Keluarga FC aja”, dan lain sebagainya.

Lagi pula sebenarnya kalimat itu sendiri sudah saya ucapkan sejak saya masih menjadi punggawa tim nasional Indonesia, jadi sudah sejak lama sekali. Bahkan bunyinya lebih ekstrim lagi, “Bermainlah untuk dirimu sendiri, orang-rang yang kalian cintai (keluarga), dan lambang Garuda di dadamu (Indonesia). Saya menempatkan Negara di posisi paling akhir.

Apakah kalimat tersebut juga mau diartikan dengan, pemain tidak memiliki rasa nasionalisme, karena lebih mengutamakan bermain untuk keluarga, dan bukan bermain untuk Indonesia?

Tapi kembali seperti apa yang disampaikan Pak Sapardi Djoko Damono di awal tulisan ini, bahwa kalimat itu menjadi "hidup" jika interpretasinya macam-macam (beragam). Kalimat seperti di paragraf atas tentu tidak dapat ditelan mentah-mentah begitu saja.

Akhir sekali, sejak dulu tujuan saya menulis bukan lah untuk membuat pembaca sepaham dengan pemikiran saya. Kebanyakan dari tulisan-tulisan saya, berisi pendapat atau pemikiran yang disertai dengan alasan serta dasar-dasar, mengapa saya berpendapat demikian. Mengenai yang membaca setuju atau tidak, itu lain soal. Toh pada akhir kita tidak dapat memaksakan kehendak kepada orang lain.

Sama halnya dengan tulisan ini. Tujuan saya tidak untuk membuat anda sekalian setuju dengan pendapat saya. Apapun pendapat anda, ya monggo saja. Tulisan ini hanya menyampaikan dasar dari mengapa saya selalu meminta pemain Persija (tim nasional Indonesia) agar bermain untuk keluarga meraka (orang-orang yang mereka cintai).

Mengkritik tim ketika tim bermain buruk itu boleh, harus malah. Namun seyogyanya menggunakan bahasa atau perumpamaan yang pas, dan tepat sasaran. Bukan dengan pembentukan opini dari kesalahan dalam memahami sesuatu.

Ini adalah salah satu contoh dari ketika amarah sudah mengambil alih kendali, maka logika akan terabaikan. Ini sangat berbahaya, karena dapat merugikan orang lain.

Di atas itu semua, persoalan ini jangan dianggap sebagai sesuatu hal yang terlalu serius. Ini hanyalah bunga-bunga dari diskusi atas dasar kecintaan kita kepada Persija Jakarta. Jangan pula hal ini membuat terjadinya perpecahan diantara kita, bukan itu juga yang kita butuhkan.

Yang kita butuhkan saat ini adalah bagaimana kita bisa mengumpulkan serta menyusun kembali serpihan semangat, serta kepingan harapan agar tim dapat tampil baik, dan mendapatkan hasil yang maksimal.

Sekali lagi, perpecahan tidak kita perlukan untuk saat ini. Sekarang saatnya menepuk pundak orang di sebelahmu seraya berkata, "Ayo berjuang bersama-sama kawan".

Selesai.....