Hotel Whiz Prime, Lampung, 8 Desember 2019.

PAGI ini, saya mengalami sebuah kejadian yang sangat menarik. Sesuatu yang sekilas mungkin sederhana. Namun jika kita mau resapi, kejadian tersebut memiliki kedalaman makna yang luar biasa. Terutama di jaman sekarang ini, di mana kebanyakan orang menjalani hidup namun sering kali lupa dengan nilai-nilai dari kehidupan itu sendiri.

Begini ceritanya:

Pagi ini saat sedang sarapan di hotel tempat Persija Jakarta menginap, seorang anak laki-laki berusia kira-kira 10 atau 13 tahun menghampiri saya. Anak tersebut menyapa sambil menepuk punggung saya, saat saya tengah mengambil teh.

"Selamat pagi Om", begitu sapanya. Spontan saya pun menjawab, "Selamat pagi". Anak tadi lanjut berkata, "Boleh minta foto, dan tanda tangan Om?”. "Oh boleh-boleh", jawab saya kemudian. “Sebentar ya”, lanjut saya sambil coba menaruh secangkir teh saya di meja, agar hasil fotonya jadi lebih bagus.

Ok, cukup sampai di situ dulu cerita mengenai seorang anak dari Lampung tersebut. Nanti kita sambung lagi ya.

Bagi pesepak bola, atau katakanlah publik figur lain (apa saja profesinya), dimintai foto atau tanda tangan itu hal yang biasa. Dan dari apa yang saya ketahui dan saya alami, mostly si publik figur juga akan dengan senang hati melayani. Namun tentu tergantung dengan situasi, dan kondisinya. Situasi dan kondisi dalam hal ini bisa banyak seperti misalnya apakah waktunya tepat, apakah tidak sedang terburu-buru, atau apakah cara memintanya sopan atau tidak. Nah hal-hal semacam itu dapat mempengaruhi si publik figur untuk pada akhirnya memutuskan untuk melayani, atau tidak melayani.

Jadi konklusi yang dapat saya ambil adalah, kenyaman menjadi faktor kunci yang membuat prosesi foto bersama dan meminta tanda tangan tadi terlaksana, atau tidak.

Seperti yang pernah disampaikan oleh The Social Media Grand Father tanah air Mbah @ndorokakung dalam salah satu unggahannya, “Di media sosial, kita semua membuat pencitraan. Beda tingkat noraknya saja". Nah, jadi sebenarnya publik figur diajak berfoto itu ya seneng-seneng saja, wong tidak merugikan sama sekali kok. Malah pada titik tertentu hal tersebut menjadi tolok ukur (atau menambah) popularitas, dan pencitraan yang bersangkutan. Namun ya seperti yang saya sampaikan di atas tadi, apakah situasi dan kondisinya nyaman, dan memungkinkan atau tidak.

Dalam banyak kesempatan, kegiatan foto bersama ini gagal dikarenakan ulah si yang meminta foto sendiri. Contohnya begini ketika misalnya yang meminta foto berebutan, menarik-narik baju maupun tangan, atau lebih-lebih lagi terkadang ada yang sampai menarik kepala, dengan tujuan mengarahkan ke kamera yang bersangkutan. Nah yang model begini ini, jangan tersinggung kalau misalnya si publik figur menolak, atau bahkan mengeluarkan kalimat yang bisa jadi sedikit keras.

Saya sendiri dalam banyak hal selalu berusaha membuat “ritual” ini nyaman bagi kedua belah pihak. Baik bagi saya, pun demikian bagi yang meminta. Tentu tujuannya agar hasil fotonya bagus, sehingga yang meminta foto juga puas. Namun untuk dapat mencapai kepuasan bagi semua tadi, tentu ada sesuatu yang harus dikorbankan.

Maksud saya begini:

Dalam beberapa kesempatan setelah latihan, saya pernah membuat antrian sepanjang kira-kira 10 sampai 15 orang, hanya untuk berfoto dan meminta tanda tangan saya. Kurang lebih 10-13 menit waktu yang habis untuk melayani mereka. Saya lebih nyaman begitu dari pada minta foto, dan tanda tangan berebutan. Kelebihan dengan sistem antri tersebut tentu hasil foto dan tanda tangannya lebih bagus, serta kedua belah pihak sama-sama nyaman.

Kekurangannya sudah barang tentu lumayan menyita waktu. Bagi saya tidak masalah, namun bagi yang meminta foto tentu menjadi sedikit masalah. Karena dengan mengantri, bisa jadi dia akan melewatkan kesempatan untuk berfoto dengan pemain lain.

Biasanya saya berkata, “Bisa antri ngga? kalo bisa antri tak layanin, tapi kalo ngga mau antri tak tinggal”. Ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan sok penting, sok terkenal, sok eksklusif, atau sok-sok yang lain. Sekali lagi ini tentang kenyamanan bagi kedua belah pihak. Saya rela menghabiskan waktu beberapa menit, agar prosesi tadi berjalan nyaman bagi semuanya. Namun jika sudah mulai rusuh dengan saling menarik dan seterusnya, biasanya akan saya tinggal.

Nah, sekarang tinggal pilih yang mana?

Walapun saya juga bukan tidak pernah menolak menandatangani sesuatu, atau ajakan berfoto. Biasanya yang saya tolak ini berkaitan dengan simbol-simbol tertentu. Ambil contoh menandatangani hal-hal yang berkaitan dengan atribut sekolah seperti seragam, baju olah raga, topi, buku, atau seragam SSB (sekolah sepak bola). Yang model begini memang biasanya saya tolak, karena menurut saya kok kurang elok.

Juga ajakan foto menggunakan simbol-simbol politik, organisasi, atau hal-hal yang dapat dipolitisasi. Misalnya seperti yang pernah saya tulis dulu, saya menolak berfoto sambil memberikan simbol tangan untuk pasangan capres tertentu. Jika yang meminta foto mau melakukan simbol-simbol seperti itu sih monggo-monggo saja, namun jangan paksa saya untuk melakukan hal yang sama, biarkan saya dengan pose biasa saya saja.

Atau terkadang ada yang meminta foto dengan meminta saya memegang sesuatu. Nah yang model begini ini biasanya saya tolak, kecuali yang dipegang sesuatu yang menurut saya bersih (tidak berpotensi menimbulkan kesalahpahaman).

Atau yang meminta foto tidak meminta saya untuk memegang sesuatu, namun yang bersangkutan menggunakan kaos atau atribut yang bertuliskan pesan-pesan tertentu. Misalnya ejekan kepada suporter lain, atau organisasi tertentu. Nah yang jenis begini ini tetap saya layani, namun biasanya saya meminta yang bersangkutan menutupi pesan tadi dengan tas, atau barang lain agar tidak terlihat.

Melakukan hal-hal seperti di atas memang cukup menyita waktu. Namun menurut saya hal tersebut perlu, tujuannya tentu agar tidak menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat. Karena sebagai publik figur, tentu kita memiliki tanggung jawab moral untuk tidak turut mem-fasilitas-i kebencian. Satu dua mungkin luput dan terlewat, namun setidaknya saya selalu mencoba untuk meminimalisir hal tersebut.

Oh iya satu lagi, saya merasa aneh dengan beberapa orang yang meminta foto selfie namun meminta yang dimintain foto (si publik figur) untuk memegang kameranya. Jujur yang begini ini saya tidak paham tujuannya agar apa? Kan lebih mudah jika yang memegang yang meminta foto, jadi tau angle bagaimana yang dia mau. Jika ada yang tau alasannya, mungkin boleh saya dikasih tau.

Kembali ke si Dandi di Lampung tadi:

Saat saya meletakkan cangkir berisi teh dan siap untuk berfoto, tiba-tiba si anak tadi berkata, “Nanti saja Om, Om sarapan dulu aja. Nanti kalo udah selesai saya samperin lagi”. Saya sempat kaget mendengan jawaban tersebut, kemudian karena saya memang sedang tidak merasa terganggu, maka sayapun berkata, “Ngga papa, sekarang juga ngga papa, lagi santai kok”. Menariknya, si anak tadi bersikeras dengan menjawab, “Ngga papa Om, Om sarapan dulu saja. Saya tunggu di luar (teras)”. Dan akhirnya saya pun mengalah dan menjawab, “Ok, nanti setelah sarapan kita foto ya”.

Entah mengapa kejadian di atas tadi membuat hati saya begitu senang pagi itu. Di jaman sekarang, saat kebanyakan dari kita ini mulai kehilangan nilai, masih ada orang (anak kecil) yang begitu menghargai privasi orang lain dengan sedemikian rupa.

Dan ternyata saya bukan lah pemain pertama yang dimintain foto oleh si anak tersebut. Saat saya bercerita kepada beberapa pemain yang sudah terlebih dahulu berada di ruang makan, ternyata mereka juga ditemui oleh anak tersebut. Artinya sudah lumayan lama anak tersebut menunggu di luar.

Singkat cerita, setelah selesai sarapan saya pun menghampiri anak tersebut. “Ayo kita foto, sudah selesai sarapannya ini”, panggil saya. Anak tersebut pun bergegas berdiri dan menghampiri saya, kami pun berfoto bersama. Saya juga menanda tangani jersey Persija milik anak tersebut. Kemudian giliran beberapa pemain yang juga sudah selesai sarapan berfoto dengan anak tersebut.

Setelah semua selesai, saya kembali menghampiri anak tersebut, “Namanya siapa? asli orang Lampung?”, tanya saya kepada anak tersebut. “Nama saya Dandi Om, iya asli lampung”, jawab si Dandi. “Boleh minta foto selfie?”, lanjut saya. “Boleh Om”, jawab Dandi dengan muka tersipu. Dan saya pun mengambil foto selfie kami berdua , saya yang memagang kameranya, bukan meminta si Dandi yang memagang kamera (ya karena foto memang diambil dengan HP saya), dan kemudian saya posting di akun twitter saya.

Caption foto ketika itu adalah: “Pagi ini saat sarapan, saya ketemu dengan anak ini, namanya Dandi dari Lampung. Ada yang spesial dari si Dandi ini, nanti kapan-kapan saya ceritain”.

Menariknya, siang harinya ketika jam makan siang, saya melihat si Dandi masih di tempat yang sama seperti pagi tadi. Ternyata, karena tidak semua pemain turun sarapan, dan si Dandi ini memang ingin berfoto dengan semua pemain Persija. Maka Dandi dan keluarganya pun menunggu hingga makan siang, saat semua pemain turun makan siang. Persis seperti pagi tadi, Dandi menunggu hingga jadwal makan siang kami selesai, baru dia meminta foto pemain-pemain yang belum sempat berfoto di pagi hari satu per satu. Luar biasa ucap saya dalam hati.

Tujuan saya menceritakan kisah si Dandi di atas adalah untuk berbagi tips dan trik bagi siapapun yang nantinya ingin meminta foto dengan publik figur, tidak harus pesepak bola, bisa siapa saja dengan apapun profesinya. Pesan saya, coba lah untuk membuat orang yang ingin kalian mintai foto tersebut merasa nyaman, dan tidak terganggu.

Sebisa mungkin hindari meminta foto saat si publik figur tengah meeting, atau makan dengan keluarganya. Di saat seperti itu, ada publik figur yang masih mau melayani, namun kebanyakan akan menolak, dan meminta yang meminta foto untuk menunggu setelah makan selesai. Bukan karena mereka tidak mau diajak foto, namun lebih kepada ingin menghargai keluarga mereka, dengan tidak ingin mengganggu waktu untuk keluarga.

Ya mungkin tidak perlu juga harus seperti si Dandi yang rela menunggu berjam-jam, hanya untuk berfoto bersama. Namun setidaknya meminta lah dengan cara yang baik, dan jauhi kesan memaksa, apa lagi dengan menarik baju atau anggota badan lainnya, lebih-lebih lagi sampai memegang kepala.

Karena sekali lagi, seperti kata Mbah @ndorokakung di awal tulisan tadi, jika pada akhirnya semua kita ini melakukan "pencitraan" di media sosial, levelnya saja yang beda-beda. Jadi publik figur (siapapun) diajak berfoto itu ya seneng-seneng saja, wong semakin banyak diajak foto akan semakin menbuat yang bersangkutan tambah terkenal kok.

Namun ya itu tadi, bergantung dari apakah cara memintanya baik dan nyaman, atau tidak.

Demikian….