“BENG, tidak ada satu pun pelatih yang mau timnya kalah. Jadi, setiap pelatih tim nasional pasti akan panggil pemain terbaik dari yang ada di negara ini. Dan terbaik itu menurut gua, sesuai kebutuhan skema yang mau gua pake, bukan menurut orang-orang yang banyak bac*t itu. Lo emang lagi busuk, tapi gua butuh lo. Jadi, sampai ketemu besok malam di hotel Santika”.

Kutipan di atas, adalah ucapan Om Benny Dollo melalui telefon kepada saya, sehari sebelum pemusatan latihan tim nasional untuk Pra Piala Dunia 2002 (yang dimaikan di 2001). Ketika itu saya tengah tampil buruk di liga. Dalam 10 pertandingan sejak dimulainya liga, belom sebiji gol pun mampu saya cetak. Saya kalah bersaing dengan Budi Sudarsono dan Gendut Doni, yang ketika itu menjadi duet utama di lini depan Macan Kemayoran.

Saat daftar nama-nama pemain nasional diumumkan, terbersit dalam hati saya untuk tidak hadir di pemusatan latihan tim nasional tersebut. Bukan karena saya tidak menghargai tim nasional, tentu jauh dari itu. Namun lebih kepada, saya merasa sadar diri jika banyak striker yang tampil lebih baik dari saya di liga, sehingga salah satu dari mereka rasanya lebih layak untuk dipanggil ke tim nasional.

Nama-nama seperti Nova Zaenal, Miro Baldo Bento, Indriyanto Nugroho, I Komang Mariawan, Purwanto, Zaenal Arif, dan juga Ilham Jayakesuma yang ketika itu tampil baik bersama klub masing-masing, rasanya lebih layak untuk mengisi satu slot yang saya tempati.

Keinginan saya tersebut, sempat saya sampaikan kepada salah satu petinggi badan tim nasional. Mendengar hal tersebut, Om Benny yang ketika itu menjadi nahkoda tim nasional pun menelefon saya. Om Benny menyakinkan saya akan keputusan yang dia ambil. Dan kutipan di paragraf awal tadi, adalah ucapan Om Benny ketika itu.

Selain pemanggilan saya, keputusan Om Benny untuk memanggil Aples Gideon Tecuari juga memantik kritik keras dari masyarakat. Banyak yang menilai, masa-masa Aples di tim nasional sudah berlalu. Namun Om Benny tetap bersikeras pada keputusannya. Bahkan menjadikan Aples palang pintu utama tim nasional bersama Eko Purjianto dan Bejo Sugiantoro.

Akhirnya saya pun bergabung ke pelatnas tim nasional yang dilakukan di hotel Santika, di kawasan Slipi, Jakarta Barat. Ketika itu lini depan tim nasional diisi oleh Kurniawan Dwi Julianto (PSM Makassar), Seto Nurdiantoro (Pelita Jaya) dan Budi Sudarsono, Gendut Dony, juga saya (Persija Jakarta).

Dan sejarah pun mencatat, di tim nasional Pra Piala Dunia 2001 ini lah, untuk pertama dan terakhir kali saya bertandem dengan idola saya Kurniawan Dwi Julianto di even resmi bersama tim nasional. Saat itu media masa menyebut duet kami dengan nama duet Kumbang (Kurniawan Bambang).

Pasang surut penampilan, membuat kami tidak lagi dapat bermain bersama di tim nasional. Terakhir kali kami tampil bersama adalah di laga persahabatan pada tahun 2007 saat Indonesia takluk 0:1 dari Borussia Dortmund (Jerman) yang ketika itu dilatih oleh Thomas Doll (pelatih Persija saat ini), di Gelora Bung Karno. Dan menariknya, pelatih tim nasional Indonesia dalam laga persahatan itu jugalah Om Benny Dollo.

Pertandingan tersebut, boleh dikatakan juga menjadi pertandingan testimonial bagi Kurniawan Dwi Julianto bersama tim nasional. Dan salah satu jersey nomer 10 yang digunakan oleh Kurniawan pada pertandingan tersebut, menjadi koleksi saya hingga saat ini.

Situasi yang kurang lebih sama terjadi jelang Piala AFF 2008. Om Benny yang ketika itu kembali mengambil alih tampuk pelatih tim nasional setelah kegagalan Ivan Kolev di SEA Games 2007, memanggil saya ke ruang meeting sesaat setelah latihan pertama tim nasional, di komplek golf Sawangan, Depok, tempat tim nasional melakukan pemusatan latihan.

“Beng kita sama-sama tau kalo kondisi lo lagi ngga baik. Di liga gua ngga lihat Bepe yang selama ini gua kenal. Apa yang lo rasain?”, ujar Om Benny membuka pembicaraan. “Kondisi saya baik-baik saja Om. Hanya saja, saat main saya merasa setiap keputusan yang saya ambil di lapangan selalu tidak tepat. Mungkin saya perlu istirahat Om”, jawab saya jujur. “Yang lo perlukan bukan istirahat Beng, ngga ada kata istirahat untuk pemain profesional. Mungkin sekarang lo lagi jenuh dan mengalami krisis kepercayaan diri, dan yang lo butuhin adalah mental yang kuat”, tegas Om Benny. Respon saya hanyalah mengangguk.

Kemudian Om Benny melanjutkan, “Gini Beng, dulu di Pelita Jaya gua pernah punya pemain namanya Bambang Nurdiansyah. Lo pasti juga kenal. Secara tehnik dia mungkin ngga sebaik striker-striker yang lain. Tapi mentalnya luar biasa. Gagal pinalti dia akan ambil lagi, gagal bikin gol dia usaha lagi, main jelek dia coba lagi. Dia ngga penah peduli dengan omongan orang. Itulah mengapa Bambang Nurdiansyah jadi salah satu striker terbaik di masanya, dan jadi top skor 3 kali di era kompetisi Galatama. Nah gua mau lo kayak dia Beng”. Kembali lagi, saya hanya menganggukkan kepala.

“Ngga usah peduli sama apa kata orang. Yang bisa nolong diri lo dan karir lo, ya lo sendiri. Urusan wartawan itu urusan gua, tugas lo kerja keras di latihan dan balikin kepercayaan diri lo. Lo punya waktu 2 minggu sampai Piala AFF. Dalam 2 minggu itu gua akan lihat, apakah lo layak starter, atau gua harus kasih tempat itu ke pemain lain. Paham ya Beng?”, lanjut Om Benny. “Siap Om”, jawab saya menutup percakapan kami.

Itu lah Benny Dollo yang saya kenal. Keras, lugas, tanpa tedeng aling-aling, namun mengayomi. Om Benny selalu ada di belakang saya saat saya mengalami masa-masa kurang baik di lapangan. Pun demikian dengan saya, saya selalu berusaha ada untuk Om Benny, saat Om Benny membutuhkan saya di lapangan.

Terjadi pada musim 2010, saat itu saya disarankan oleh tim dokter untuk menjalani operasi pengangkatan serpihan tulang, di engkel kaki kiri saya. Serpihan yang walau pun kecil, namun sangat menggangu saya saat bermain. Akibatnya, engkel saya selalu bengkak setiap kali selesai bertanding. Menggunakan painkiller sebelum bertanding dan membenamkan kaki ke dalam ember penuh dengan es batu setelah pertandingan, adalah ritual saya ketika itu. Di sisi lain, Persija sedang menjalani periode krusial baik di liga maupun piala Indonesia.

Saya ingat betul, kira-kira seminggu jelang babaok 8 besar Piala Indonesia melawan Persik Kediri yang akan digelar pada hari Sabtu (17/7/2010), di stadion Manahan, Solo. Saya sempat berdiskusi dengan Om Benny. Ketika itu saya menyampaikan niat saya untuk menjalani operasi, karena kondisi engkel saya yang memang sudah sangat mengganggu.

Ketika itu Om Benny berkata, “Beng, lo tau saat ini kita lagi dalam kondisi yang serba sulit. Jadwal kita (liga dan piala Indonesia) sangat padat, jadi gua butuh banyak pemain. Bisa ngga, kalo lo tahan operasinya sampe akhir musim? Gua butuh lo di tim. Tapi gua ngga akan paksa lo main di setiap pertandingan”. Tanpa berpikir panjang saya pun menjawab, “Siap Om, saya akan tunda sampe akhir musim”. Operasi yang pada akhirnya tidak pernah saya jalani hingga saya pensiun.

“Bismillah Beng, lo apain kek kaki lo biar bisa tetep main”, seloroh Om Benny dengan gaya khasnya (tangan memukul-mukul paha sambil terkekeh ringan). Mendengar Om Benny yang beragama nasrani mengucapkan “Bismillah” membuat saya pun ikut tersenyum. Seminggu kemudian, saya berhasil mencetak 3 gol ke gawang Persik Kediri dan membawa Persija menang 4:3 di stadion Manahan, Solo. Setelah pertandingan, dengan mata berbinar dan tanpa mengucap sepatah kata pun, Om Benny memeluk saya.

Hubungan saya dan Om Benny memang tidak selamanya berjalan mulus. Dalam beberapa kesempatan kami memang sering tak sependapat. Namun dapat saya pastikan, jika kami saling memahami. Semua perbedaan pendapat yang terjadi tersebut, selalu dalam koridor profesional dan penuh rasa hormat.

Akhir sekali, tak dapat dimungkiri jika Om Benny Dollo telah banyak memberi warna dalam karir sepak bola saya. Dan berdasarkan pengalaman saya, tanpa mengurangi rasa hormat kepada pelatih-pelatih lokal yang lain, Om Benny Dollo adalah pelatih lokal terbaik yang pernah bekerjasama dengan saya.

Selamat jalan Om Ben. Doa terbaik untuk Om Benny dan seluruh keluarga yang ditinggalkan. Rest In Love....

PS: Bagi para pemain tim nasional Pra Piala Asia 2009, kami sering memanggil Om Benny Dollo dengan nama Charles Bronson. Bagaimana ceritanya, silakan klik link berikut di bawah ini:

https://bambangpamungkas20.com/2010/01/30/confession-of-a-bad-boy-1

https://bambangpamungkas20.com/2010/02/01/confession-of-a-bad-boy-2


Salam,

Bambang Pamungkas