Tidak bisa dimungkiri bahwa sepakbola adalah olahraga terpopuler di dunia. Olahraga ini dimainkan di belahan dunia manapun, oleh siapapun, serta memiliki penggemar paling banyak di jagat ini. Menurut sejarah, olahraga ini sudah ada sejak jaman dahulu kala. Konon katanya pada jaman perang, olahraga ini dimainkan menggunakan kepala musuh yang sudah dipenggal sebagai bolanya.

 

Sepak bola adalah bahasa universal. Olah raga yang dapat dipahami oleh siapa saja. Sebuah aktifitas yang mampu memberikan kepuasan, dan kegembiraan bagi mereka yang memainkannya, juga mereka yang menyaksikan tanpa mengenal batas usia, ras, golongan dan juga jenis kelamin.

 

Sebagai olahraga yang sangat populer dan melibatkan banyak unsur dalam penyelenggaraannya, sepakbola dalam perkembangannya juga tidak luput dari berbagai masalah. Satu di antara sekian banyak masalah yang tidak dapat dianggap "enteng" dalam sepak bola adalah rasisme.

 

Kita pernah mendengar nama-nama pemain seperti George Weah, Edgar Davids, Mark Zorro, Patrick Kluivert, dll pernah mengalami pelecehan ras oleh para suporter. Tentu hal ini sangat ironis, mengingat berkembang pesatnya sepak bola tidak lepas dari peran para pemain berkulit hitam.

 

Di samping pemain-pemain berkulit putih seperti Franz Beckenbauer, Gerd Muller, Johan Cruyf, Diego Maradona, Enzo Francescoly, Paul Gascoigne, dll. Kita juga pernah mendengar kiprah pemain berkulit hitam seperti Pele, Eusebio, Garincha, Roger Milla, George Weah dll yang juga mempunyai peran besar dalam memajukan olah raga ini.

 

Sehingga ketika terjadi isu rasisme dalam sepak bola tentu hal ini menjadi hal yang sangat menyedihkan, seakan-akan kita lupa kepada jasa-jasa mereka. Kita seperti lupa jika epak bola sendiri pada hakekatnya dipertandingkan untuk menghibur, dan mempersatukan masyarakat.

 

Hal yang sama pun terjadi di negara kita, negara yang konon katanya menjunjung tinggi pluralisme dalam masyarakat, dan melindungi hak asasi setiap warganya. Dalam penyelenggaraan kompetisi tahun ini terdapat beberapa aksi rasisme dari oknum suporter terhadap beberapa pemain berkulit hitam, lebih ironis lagi aksi ini tidak hanya terjadi kepada para pemain asing, akan tetapi juga kepada para pemain lokal asal Papua.

 

Beberapa waktu lalu kita mendengar bagaimana para pemain Persipura mendapatkan cemoohan dari para pendukung tim lawan, ketika bermain away. Demikian juga Alex Pulalo yang mendapat teror rasisme ketika memperkuat Arema, saat bermain away. Tentu hal-hal seperti ini sangat menyedihkan, dan tidak dapat ditoleransi.

 

Apakah kita lupa bahwa sepakbola Indonesia pernah sangat bangga memiliki pemain-pemain seperti Rully Nerre, Adolf Kabo, Simson Rumahpasal, Yohanes Auri, Ronny Wabia, Aples Tecuary. Atau sampai pada generasi sekarang seperti Alex Pulalo, Ellie Aiboy, Ortisan Sallosa, Errol Iba dan juga Boas Sallosa. Mereka semua adalah pemain-pemain asal Papua yang sangat berjasa dalam perkembangan sepak bola di negeri ini.

 

Kita mengelu-elukan mereka ketika meraka berjuang atas nama Indonesia, namun mencemooh mereka ketika mereka menjadi lawan dari klub kesayangan kita, tentu itu merupakan tindakan yang jauh dari kata dewasa, dan bijaksana.

 

Bagi saya pribadi, sepakbola ini seperti coklat M & M yang memiliki beraneka macam warna ada merah, kuning, hijau, biru, ungu dsb. Namun ketika meleleh dalam mulut kita tetap memiliki rasa nikmat yang sama sebagai coklat. Begitu pula dalam sepakbola, berasal dari manapun dan berwarna kulit apapun sesorang pemain jika mampu mengeluarkan kemampuan terbaik, tentu akan mampu menambah kenikmatan para suporter dalam menikmati pertunjukan sepakbola.

 

Dalam beberapa pertandingan terakhir saya selalu menggunakan baselayer yang bertuliskan “War Againts Racism” ketika bermain. Karena sudah saatnya kita berpikir dewasa dan menendang jauh-jauh rasisme dari persepakbolaan negeri ini.

 

Saya sudah memulainya, kapan giliran Anda?

 

Selesai....