Sehari setelah pertandingan melawan Thailand, saya sempat menulis di akun twitter saya seperti berikut:

“@bepe20: Semalam, secara fisik saya masih merasa bugar. Akan tetapi dua pinalty itu, secara psykologis membuat emosi saya terkuras habis tidak tersisa”.

Seharusnya, mengingat apapun hasil dari pertandingan tersebut Indonesia tetap melaju ke semifinal dengan status juara group, komentar saya di atas memang terkesan berlebihan. Akan tetapi jika di lihat dari tekanan masyarakat selama ini yang begitu hebat terhadap diri saya, maka hal tersebut menjadi sangat wajar.

Saat itu saya tidak hanya berhadapan dengan Shintaweecai (Kiper Thailand), akan tetapi saya juga harus berhadapan dengan masyarakat yang meragukan kapasitas saya sebagi pemain nasional. Apalagi mengingat saat pinalti itu terjadi Indonesia dalam posisi tertinggal 0:1 dari Thailand, maka saat itu saya juga membawa asa dari seluruh pendukung merah putih, yang sangat berkeinginan mengakhiri rekor kekalahan selama 12 tahun dari negeri gajah putih tersebut.

Dan secara jujur saya katakan jika saat itu saya dalam keadaan sangat terkekan dan tegang, mingkin dapat terlihat ketika saya beberapa kali menarik nafas panjang dan mengusap wajah saya sebelum mengeksekusi tendangan tersebut. Dapat anda sekalian bayangkan jika saat itu saya gagal mengeksekusi tendangan 12 pas, kira-kira apa yg akan tertulis di media masa keesokan harinya?  Dan apa kira-kira komentar masyarakat yang selama ini tidak meragukan saya? Saya yakin mereka pasti akan semakin mengubur saya lebih dalam lagi hehehe.

Arrgghh tetapi sudahlah, mari kita tinggalkan peristiwa pinalti dan segala beban yang saya rasakan saat itu. Pada kesempatan kali ini, saya lebih tertarik membahas kejadian setelah pertandingan Indonesia Vs Thailand tersebut usai. Yaitu saat saya tidak berkomentar sedikitpun kepada rekan-rekan wartawan di area mix zone stadion utama Gelora Bung Karno.

Hampir semua wartawan menilai saya sebagai pribadi yang sombong bahkan arogan, secara pribadi saya sama sekali tidak menyalahkan mereka mengenai komentar tersebut. Akan tetapi bukankah memang selama bertahun-tahun saya tidak pernah berkomentar di area mix zone? Bukankah mereka sudah tau, jika saya lebih nyaman berkomentar di konferensi pers resmi, atau melalui situs pribadi saya? Oleh karena itu dalam pandangan saya, apa yang saya lakukan saat itu bukanlah hal yg baru, dan seharusnya juga bukan menjadi hal yg aneh.

Mereka (rekan-rekan wartawan) berhak menilai apapun mengenai hal tersebut. Akan tetapi sebagai pribadi, tentu saya mempunyai alasan yg kuat mengapa saya berlaku demikian. Maka melalui artikel ini, saya akan sedikit berbagi cerita mengenai hal-hal yg membuat saya menjadi lebih berhati-hati dalam menghadapi rekan-rekan wartawan. Bukan anti terhadap wartawan, akan tetapi sekali lagi lebih berhati-hati.

Dan sekarang, saya akan mulai bercerita:

“I do my job on the pitch, the journalist do theirs by asking me quesions. But sometimes the most awaited moment is when i didn’t play so well, and that makes me upset. That’s why i have my own way to communicate with them, to make a good will between us”

Ketika saya berbicara dengan wartawan, saya selalu berusaha memberikan diri saya seutuhnya. Saya berusaha menyampaikan secara jujur dan apa adanya tentang pendapat dan jawaban-jawaban saya (Terkadang terlalu jujur malah), hal tersebut membutuhkan energi dan keberanian iya membutuhkan energi yg tidak sedikit.

Akan tetapi pada kenyataannya, hal tersebut malah membuat saya membuang-buang waktu dan energi dua kali. Pertama, saat saya berbicara kepada mereka dan kemudian saat saya membaca hasil dari wawancara tersebut keesokan harinya. Karena akan selalu ada hal yg tidak sama, antara apa yg saya sampaikan dengan apa yang mereka tulis, dan sejujurnya itu sangat mengecewakan.

Seperti yang pernah saya sampaikan dalam artikel saya (Kita memiliki kekuatan baru : 2010) -  ”Di belahan dunia manapun dan dalam profesi apapun, akan selalu ada sedikit ruang antara para wartawan dan nara sumbernya yang tidak dapat terisi dengan baik”. Sebuah keadaaan yang tidak akan pernah dapat di selesaikan menurut saya, hal yang mampu kita lakukan hanyalah mempersempit ruangan tersebut, akan tetapi tidak untuk menghilangkannya.

Sejujurnya, saya hanya menginginkan sebuah kerjasama yg “fair” dengan rekan-rekan wartawan, sebuah kerjasama yg tidak menguntungkan salah satu pihak, dan juga sebuah kerjasama yg tidak merugikan salah satu pihak. Karena sejatinya tidak akan pernah ada sebuah kerjasama yang saling menguntungkan antara wartawan dan narasumbernya.

Yang saya maksud dengan kerjasama yg “fair” adalah. Ketika saya melakukan kesalahan atau hal yg negatif, maka seranglah saya secara terbuka, arahkan saja moncong senapan anda kepada saya, dan mulailah menembak. Akan tetapi ketika saya melakukan hal yg baik atau positif, maka sudah selayaknya saya juga mendapatkan apresiasi yg baik. Secara pribadi, saya juga tidak ingin selalu diberitakan dalam hal-hal yg positif saja, karena hal tersebut malah akan membuat saya tidak dapat mengontrol diri.

Dalam setiap profesi, saya yakin jika kita terikat dengan sebuah etika dalam bekerja, sebuah etika yg sudah seharusnya kita sama-sama patuhi dan jalankan sepenuh hati. Saya rasa kurang bijaksana jika kita menulis atau menilai seseorang hanya karena faktor suka dan tidak suka, tanpa mengenal betul si narasumber, karena menurut saya hal tersebut melanggar etika jurnalisme.

Seperti yang anda sekalian ketahui, saya adalah seseorang yang suka menulis. Jika anda perhatikan, saya bukanlah pribadi yg anti terhadap kritik, bahkan dalam beberapa artikel saya, saya mengkritisi diri saya sendiri ketika saya rasa ada hal yang salah mengenai diri saya. Akan tetapi di sisi lain, saya juga tidak jarang memuji diri saya sendiri, ketika saya rasa ada hal positif yg saya lakukan. Itu saya lakukan untuk membentuk karakter pribadi saya.

Dalam beberapa tulisan, saya juga mengkritik pak Nurdin Halid (Ketum PSSI), pak Andi Darussalam Tabusalla (Ketua BTN), atau bahkan PSSI. Akan tetapi hal tersebut saya lakukan secara “fair” atas nama pelaku sepakbola yang ingin dunia persepakbolaan Indonesia lebih baik lagi, bukan karena rasa suka atau tidak suka terhadap pribadi orang-orang tersebut.

Sejujurnya saya kagum dengan sosok seorang Irfan Bachdim yang dalam pendapat saya mampu memposisikan dirinya seperti David Beckham kepada para penggemar dan wartawan. Irfan selalu mampu tersenyum kepada semua orang, melayani setiap wawancara dan terlihat sangat nyaman dalam melakukan hal-hal tersebut. Saya tau itu membutuhkan energi yang tidak sedikit, dan Irfan mampu melakukan itu, anak itu sangat luar biasa dimata saya.

Sedangkan saya sendiri, eeehhhmm Bambang Pamungkas lebih memilih jalan terjal dan berliku dalam berhubungan dengan wartawan, saya lebih memposisikan diri saya sebagai Paul “Gazza” Gascoigne di mata para jurnalis. Sebuah pribadi yg menjengkelkan, membuat kening berkernyit, menentang arus, dan memancing cacian serta makian. Akan tetapi setidaknya saya tidak sedang membohongi diri saya sendiri, saya hanya ingin berlaku jujur terhadap hati dan perasaan saya.

Jika boleh saya mengibaratkan karakter saya dengan sebuah genre musik, maka Bambang Pamungkas di atas lapangan adalah sebuah musik keroncong dengan ritme yg tenang, bersinergi, mengalun lembut, dan menghanyutkan. Sedangkan Bambang pamungkas di luar lapangan lebih menyerupai genre musik Rap dan Hip-Hop dimana penuh dengan gejolak, berapi-api serta menggebu-gebu dalam menjalani hidup, mengejar mimpi dan mengungkapkan pendapat serta pikirannya. “I am not a critizicing machine, i just a realistic man who says what i thinks”.

Hal tersebut yg terkadang membuat mulut saya tidak cukup mampu mengejawantahkan apa yang ada dalam benak serta pikiran saya. Saya merasa, jari-jemari saya (melalui tulisan) lebih mampu megungkapkan perasaan dan gejolak hati saya secara lebih bermotif, terperinci serta tersusun dengan rapi.

“That’s why i prefer writing on my personal website as i can express an open and honest view of any subject, without any hesitation that might couse a public misunderstanding”

Maka biarlah mereka para pemain muda yang angkat bicara. Sedangkan saya , ijinkan saya tetap dengan cara yngg selama ini saya lakukan, yaitu “Terbang di bawah radar”. Saya merasa sangat nyaman dengan cara saya tersebut. Karena cara itu, membuat saya tidak terbang terlalu tinggi hingga menyentuh awan (besar kepala), dan tentunya membuat saya lebih dekat dengan bumi (tetap dapat mengontrol diri). Sehingga, ketika suatu saat nanti saya harus mendarat (berhenti bermain sepakbola), maka semuanya akan berjalan dengan lebih mudah, lebih halus dan lebih tenang.

Selesai..