Dalam dua tahun terakhir, masalah demi masalah silih berganti menyelimuti dunia persepakbolan Indonesia. Bahkan terlalu banyak rasanya jika kita harus merinci permasalahan tersebut satu persatu. Masalah baru tapi lama yang saat ini tengah menarik perhatian masyarakat adalah keterlambatan gaji. Tanpa bisa dihindari, masalah tersebut juga menimpa klub sebesar Persija Jakarta. Klub ibukota yang berjuluk Macan Kemayoran ini, menunggak gaji penggawa mereka sebanyak 5 bulan. Dan oleh karena belum adanya kesepakatan jalan penyelesaian mengenai hal tersebut, maka sebagian besar punggawa mereka di musim lalu memilih untuk menolak memperpanjang kontrak, hingga segala permasalahan tersebut selesai.

 

Lucunya, ketika para pemain tersebut bersuara menuntut akan haknya, mereka malah dibenturkan dengan sebuah kalimat magis yang bernama "loyalitas". Iya, loyalitas terhadap sesama pemain, loyalitas terhadap klub, dan juga loyalitas terhadap The Jakmania, para pendukung mereka. Ini menjadi hal yang aneh, mengingat menejemen selalu menuntut pemain untuk mengerti tentang segala kesulitan yang dialami oleh klub. Akan tetapi di sisi lain manajemen tidak pernah mau mengerti dengan kesulitan yang tengah dialami oleh para pemain. 

 

Para pemain mungkin bisa menunggu, akan tetapi biaya anak sekolah, tagihan listrik, tagihan air, bensin, biaya rumah sakit, dan semua kebutuhan pokok tidak dapat menunggu. Itu semua tidak dapat dibayar dengan apa itu yang disebut loyalitas.

 

Kalimat "saling menghargai" itu berarti dari dua arah, tidak hanya dari satu arah. Ketika manajemen minta untuk dimengerti, maka sudah selayaknya jika mereka juga harus mengerti dengan kondisi yang dialami oleh para pemain. Sesuatu yang sangat sederhana, bukan? 

 

Dua belas tahun berseragam Persija Jakarta tidak dapat dimungkiri membuat saya sangat mencintai klub ini. Bagi saya pribadi dan beberapa pemain senior yang lain, mungkin kami masih bisa menerima jika harus berkorban untuk bermain terlebih dahulu, dengan kondisi gaji musim lalu belum dibayarkan selama 5 bulan. Dari segi ekonomi, mungkin kami juga masih bisa bertahan selama total 7 bulan tanpa penghasilan (5 bulan + 2 bulan jeda kompetisi), walaupun tentu dengan kondisi yang tentu saja sempoyongan. 

 

Akan tetapi bagaimana dengan pemain-pemain yang lain? Bagaimana dengan mereka-mereka yang musim ini tidak lagi berjuang bersama panji "Macan Kemayoran"? Bagaimana dengan para pemain yang belum mendapatkan pelabuhan baru, setelah dilepas oleh Persija Jakarta? Di sini kita tidak hanya berbicara untuk satu-dua individu saja, akan tetapi seluruh komponen di dalam tim yang musim lalu membela tim ini. Dan kalaupun mereka mampu, pertanyaan selanjutnya adalah, sampai kapan hak-hak pemain akan terus tertahan seperti ini?

 

Secara pribadi bisa saja saya berkompromi dengan kebijakan manajemen, akan tetapi bagaimana yang lain? Siapa yang akan menjadi ujung tombak perjuangan mereka untuk mendapatkan haknya, jika saya sebagai pemimpin melemah. Telinga seorang pemimpin harus selalu peka dengan setiap keluh-kesah dari mereka yang dipimpin. Ini tentang bagaimana kita melayani, mendedikasikan diri kita untuk orang-orang yang kita pimpin.

 

Ini yang saya sebut dengan sebuah dilema, secara pribadi saya terhimpit pada dua hal yang sama-sama prinsip bagi saya. Di satu sisi, pengabdian saya selama 12 tahun bersama "Macan Kemayoran", sudah barang tentu membuat hati saya merasa sangat berat jika segala sesuatunya harus berjalan seperti ini. 

 

Akan tetapi di sisi lain, ada sebuah tanggung jawab sangat besar yang harus dan wajib saya emban. Sebagai kapten tim, memperjuangkan hak-hak dari seluruh komponen di dalam tim adalah tanggung jawab saya. Memperjuangkan hak-hak pemain, staf, hingga perlengkapan, baik yang masih diperpanjang maupun yang tidak diperpanjang lagi, adalah kewajiban saya. Dan oleh karena untuk itulah saya ditunjuk sebagai pemimpin dari tim ini.

 

Tugas seorang kapten adalah menyampaikan segala aspirasi anggota tim kepada manajemen, dengan kata lain menjadi penyambung lidah pemain. Menjadi jembatan bagi terhubungnya komunikasi dua arah yang harmonis bagi seluruh komponen di dalam tim. Hal tersebutlah yang saya selalu coba lakukan, baik di Persija Jakarta maupun di Tim Nasional Indonesia.

 

Bukankan esensi dari kepemimpinan adalah pengorbanan. Karena pada akhirnya seorang pemimpin harus berkorban, berkorban dengan berani mengambil sikap. Memimpin dengan memberi contoh, bukan dengan ketakutan atau rasa belas kasihan kepada diri sendiri.

 

Jadi sekali lagi, apa yang saya lakukan ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan loyalitas dan kecintaan saya kepada Persija Jakarta. Ini semua mengenai sebuah tanggung jawab, tanggung jawab saya kepada rekan-rekan saya, tanggung jawab saya kepada mereka yang selalu berada di samping saya, dalam setiap perjuangan saya bersama Persija Jakarta.

 

Setiap orang tentu memiliki pemahaman dan pendapat masing-masing dalam melihat dan menyikapi masalah ini. Apa yang saya jabarkan diatas, adalah murni pemahaman serta pedapat saya mengenai filosofi sebuah kepemimpinan. Apakah rekan-rekan sekalian harus setuju? tentu saja tidak.

 

"Cinta itu mengalahkan segalanya, akan tetapi dalam berbagai kesempatan rasa cinta harus memberi jalan pada sebuah tanggung jawab...."

 

Selesai....