Dalam perjalanan masalah ini, BOPI sempat menyampaikan, jika izin liga ditarik apakah APPI bersedia menanggung semua kerugian yang diakibatkannya? Mengingat, bergulirnya liga menyangkut hajat banyak sekali orang. Apakah bijaksana, kata BOPI, jika hanya karena memperjuangkan sebagian kecil pemain yang belum digaji, kemudian harus mengorbankan hajat sedemikian banyak orang, termasuk pemain-pemain yang gajinya lancar.


Menurut BOPI, jika pihaknya menekan klub-klub untuk segera menyelesaikan pembayaran, maka mereka akan menyerah dan lebih memilih jalur hukum sebagai jalan penyelesaian. Oleh karena itu BOPI memilih tetap menggulirkan liga, dengan tujuan agar klub-klub tetap mendapat pemasukan, sehingga mampu menyelesaikan tunggakannya kepada pemain. Mari kita jadikan permasalahan ini sebagai pembelajaran bersama.


Ini yang menurut saya pribadi menjadi bagian paling aneh dari audiensi APPI dengan BOPI. Bagaimana mungkin jika pihak korban, dalam hal ini pemain yang belum dibayar, harus menanggung segala kerugian yang diakibatkan jika kompetisi harus dihentikan, karena pihak-pihak klub melanggar peraturan yang sudah ditentukan.


Pemain adalah pelaku utama di lapangan, apa yang tersaji di lapangan adalah daya tarik utama yang membuat para penonton hadir ke stadion. Pertempuran sebelas lawan sebelas di atas lapangan adalah sajian menarik yang membuat masyarakat gembira, marah, jengkel dan juga bangga saat menyaksikan permainan melalui layar kaca. Itu semua yang membuat sponsor tertarik untuk berinvestasi dalam sebuah kompetisi.


Apakah masuk akal, jika demi dalih menyelamatkan kompetisi yang notabene menyangkut hajat orang banyak, para pemain harus rela bekerja tanpa dibayar? Apakah menjadi sesuatu yang adil, jika para pemain yang belum mendapatkan hak-haknya, harus tetap berjibaku di lapangan dan menghibur begitu banyak orang? Apakah ini yang dikatakan profesional.?


Jumlah pemain pofesional di Indonesia yang belum menerima haknya mencapai 50% sampai 60% dari keseluruhan, artinya jumlah itu tidak dapat dikatakan kecil. Jika BOPI membebankan akibat dari kesalahan klub dan pengelola liga kepada pemain yang menuntut haknya, maka ada yang salah dengan pola pikir BOPI. Ini bukan lagi isu mengenai sepakbola bapak-bapak, akan tetapi ini lebih kepada sebuah isu kemanusiaan.


Jika sekarang klub menyerah dan lebih memilih jalur hukum untuk menyelesaikan tunggakan gaji, siapa yang berani menjamin 3 bulan, 6 bulan, atau setahun lagi mereka tidak mengatakan hal yang sama. Jika musim lalu begitu banyak menyisakan permasalahan yang berkaitan dengan gaji dan kesejahteraan pemain, maka siapa yang berani menggaransi kompetisi tahun ini hal-hal tersebut tidak terulang lagi? Tidak ada yang berani bapak-bapak!?


Salah satu kelebihan bangsa kita adalah selalu mau memberi toleransi, bahkan terkadang kepada hal-hal yang salah. Sedangkan salah satu kelemahan bangsa ini adalah sudah mulai hilangnya "rasa", sehingga semuanya seperti berjalan baik-baik saja.


Memberi toleransi tidak dapat sepenuhnya dikatakan salah, toleransi menjadi hal yang baik ketika pihak yang diberi kelonggaran, dengan sepenuh hati berusaha untuk memperbaiki diri dan menyelesaikan kesalahan yang mereka perbuat. Namun hal ini dapat berubah menjadi malapetaka, ketika orang-orang yang diberi kelonggaran itu sudah kehilangan "rasa". Sehingga membuat mereka merasa seolah-olah tidak ada hal salah yang telah mereka lakukan. 


Dalam perjalanan saya bersama APPI memperjuangkan hak-hak para pemain profesional di negeri ini, banyak sekali tembok tebal dan juga tinggi yang harus kami robohkan. Baik perjuangan menuntut hak yang pokok, dalam hal ini gaji dan kesejahteraan, juga hak sebagai warga negara untuk membela negaranya, dalam hal ini Tim nasional Indonesia. Dan, ketika BOPI yang dalam hal ini menjadi representasi pemerintah untuk menjadi penengah pun sudah "masuk angin", maka kepada siapa lagi kami harus mencari keadilan.


"Stand up for what you believe in, even if you are standing alone".. - Sophie Scholl..


Salah satu sahabat saya pernah berujar, permasalahan utama membangkitkan Indonesia adalah kekompakan. Hal tersebut memang benar adanya. Akan tetapi sebagai pribadi, saya selalu berusaha untuk berpikir positif, percaya diri dan optimistis. Saya yakin ketika ada satu orang yang berani untuk memulai perjuangan, maka Insya Allah akan ada orang kedua yang akan mengikuti. Jika ada dua, maka akan menjadi tiga dan seterusnya.


Pemain hanya dijadikan tentara untuk berperang, membela kepentingan satu golongan melawan golongan yang lain. Mereka menggunakan pemain sebagai alat tawar-menawar demi memuluskan tujuan dari setiap golongan. Namun di sisi yang lain hak-hak sebagai pemain profesional dan kewajiban mereka sebagai warga negara dipinggirkan...


Apakah harus menunggu sampai ajal menjemput, seperti yang dialami almarhum Diego Mendieta, agar hak itu segera dibayarkan. Atau sampai si pemain dirawat di ICU seperti yang terjadi pada Mouwkwelle Ebwanga, hingga klub tergugah untuk melunasi hak-hak pemain. Ini bukan lagi isu sepakbola saudara-saudara akan tetapi lebih kepada isu kemanusiaan..


Bahkan saat ini juga sedang terjadi, seorang pemain tim nasional Indonesia, Irfan Bachdim yang tidak digaji hingga lebih dari 6 bulan. Ketika pemain tersebut mendapat kesepakatan kontrak dengan sebuah klub baru di Thailand, klub lamanya yang selama ini tidak membayar gajinya, tidak mau mengeluarkan ITC dengan berbagai alasan. 


Dengan fakta diatas, apabila ada yang bertanya kepada saya mengenai mana yang lebih baik, antara KPSI dan PSSI atau ISL dengan IPL? maka jawaban saya adalah keduanya sama-sama ngawur.


"How people treat you is their karma, how you react is yours" - Wayne Dyer..


Mengapa mereka tidak berpikir jika kejadian-kejadian ini menimpa diri mereka, atau menimpa orang-orang yang mereka cintai. Karena sejatinya di dalam hidup ini, apapun yang kita perbuat dan lakukan suatu saat nanti akan memantul kembali kepada diri kita. Dan, oleh karena itulah, kita harus saling menghargai dalam kehidupan sosial kita sebagai sesama umat manusia.


Selesai....