19 April 2013.

MUNGKIN tidak banyak yang tahu, bahwa hari ini 83 tahun silam, terjadi sebuah peristiwa bersejarah bagi dunia sepakbola Indonesia. Peristiwa maha penting yang terjadi di kota Yogyakarta, tepatnya di gedung Soceiteit Hadiprojo. Pada waktu itu berkumpul perwakilan para pemuda serta aktifis dari berbagai suku dan daerah, yang dalam hal ini memiliki sebuah kesamaan, yaitu gemar bermain sepakbola.

Berawal dari gagasan Ir. Soeratin Sosrosoegondo, yang ingin mengejawantahkan isi dari butir-butir kesepakatan para pemuda Indonesia, dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Ketika itu Soeratin melihat, bahwa sepakbola dapat menjadi wadah terbaik, untuk menyemai rasa nasionalisme di kalangan para pemuda. Sebagai sarana untuk berjuang menentang penjajah.

Perwakilan klub sepakbola dari beberapa daerah pun, hadir pada petemuan di Yogyakarta tersebut. Diantaranya adalah VoetbalBond Indonesische Jacatra (VIJ - Jakarta), Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (BIVB - Bandung), Persatuan Sepak bola Mataram Yogyakarta (PSM - Yogyakarta), Vortenlandsche Voetbal Bond (VVB - Solo), Madioensche Voetbal Bond (MVB - Madiun), Indonesische Voetbal Bond Magelang (IVBM - Magelang), dan Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB - Surabaya).

Hasil pertemuan tersebut, akhirnya disepakati berdirinya Persatoean Sepak Raga Seloeroeh Indonesia. Yang kemudian berubah menjadi Persatoean Sepak Bola Seloeroeh Indonesia, pada konggres Solo di tahun yang sama. Pada konggres tersebut juga disepakati, bahwa Ir. Soeratin terpilih sebagai Ketua Umum PSSI yang pertama.

Dari sekelumit cerita diatas dapat kita ambil kesimpulan, bahwasanya PSSI sendiri pada awalnya didirikan sebagai alat pemersatu dan perjuangan untuk melawan penjajah. Yaitu sebagai bentuk perlawanan terhadap diskriminasi yang dilakukan oleh, Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU) milik bangsa Belanda, dan juga Hwa Nan Voetbal Bond (HNVB) milik etnis Tionghoa, kepada pemuda-pemuda pribumi dalam hal bermain sepakbola. Disamping itu, PSSI juga digunakan sebagai sarana untuk memupuk rasa nasionalisme para pemuda, untuk memperjuangkan bangsa dan negara yang mereka cintai.

Delapan puluh tiga tahun setelah itu, gambaran apa yang dapat kita simpulkan dari organisasi bernama Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia. Apakah organisasi tertua di Indonesia ini, masih menggambarkan semangat dan faham yang sama dengan ketika pertama kali didirikan dahulu? Apakah di usia yang ke-83 tahun ini, PSSI masih menjadi alat perjuangan para pemuda untuk membela harkat dan martabat bangsanya? Saya rasa dalam hal ini, kita semua sepakat untuk berkata, tidak.

Pada waktu itu Ir. Soeratin dengan semangat membara mendirikan PSSI, sebagai alat untuk mempersatukan para pemuda. Sedang saat ini, PSSI secara tidak langsung malah menjadi sarana untuk memecah belah bangsanya sendiri. Jika dahulu para pemuda bergabung dan menyatukan tekat di bawah bendera PSSI, untuk melawan diskriminasi terhadap para pemuda pribumi. Maka sekarang, PSSI malah melakukan diskriminasi kepada putra-putra terbaiknya sendiri, untuk berjuang atas nama bangsa dan negara.

Saling hasut, injak serta sikut hanya demi kepentingan politik dari golongan masing-masing, adalah gambaran hilangnya idealisme dalam organisasi ini. Perpecahan di segala strata organisasi, adalah wujud dari pudarnya nilai-nilai luhur yang di tanamkan oleh para pendiri organisasi ini.

Jika ketika itu, para pemuda bersatu padu untuk berjuang melawan diskriminasi dari penjajah, melalui sepakbola. Maka saat ini, jangankan untuk membela kepentingan bangsa dan negaranya, untuk memperjuangkan hak-hak mereka sendiripun, para pemain terkekang oleh ego dari orang-orang yang konon katanya, ingin memajukan olahraga sepakbola di negeri ini.

Delapan puluh tiga tahun silam, Ir. Soeratin dan para pendiri PSSI dengan keberanian yang luar biasa, menyelinap menghindai sergapan pasukan penjajah untuk melakukan pertemuan, guna menyatukan para pemuda Indonesia dalam sebuah organisasi. Sekarang dengan tanpa rasa malu yang luar biasa, para pengurus PSSI menghalalkan segala cara untuk mencapai kepentingan masing-masing, tanpa mau peduli jika hal tersebut mengakibatkan perpecahan, diantara bangsanya sendiri. Begitulah gambaran betapa menyedihkannya kondisi organisasi ini.

Melihat kenyataan tersebut, saya jadi teringat dengan salah satu ungkapan Bung Karno pada masa pergerakan dahulu, "For a fighting nation there is no journey\'s end". Kita tidak pernah tahu apakah yang ada di ujung perjalanan, dalam pemikiran Bung Karno. Karena pada kenyataannya, setelah Indonesia merdeka pun, perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai sebuah negara yang  berdaulat, adil dan makmur masih terus berlangsung, hinggalah saat ini.

Pun demikian dengan PSSI. Ternyata perjalanan panjang selama 83 tahun ini, tidak serta-merta membuat organisasi ini menjadi dewasa dan bijaksana. PSSI memang berhasil mendunia, akan tetapi sayangnya mendunia karena segala konflik berkepanjangan yang terjadi didalamnya.

Jika dahulu para pemuda berjuang melawan cengkeraman para penjajah, apa yang terjadi sekarang ini lebih mengerikan. Karena saat ini, kita berjuang melawan keserakahan dari para penguasa, yang dalam hal ini berasal dari bangsa kita sendiri.

Apakah kita akan terus larut dalam angkara murka seperti ini? Sampai kapan kita akan tetap memikirkan kepentingan diri sendiri serta golongan, diatas kepentingan bangsa dan negara? Masihkah darah kita berwarna merah dan tulang kita berwarna putih? Semua kembali kepada hati nurani kita masing-masing. Karena apakah sepakbola negara ini menjadi kuat, atau malah sebaliknya hancur berantakan, adalah tanggung jawab kita bersama.

Semoga pada ulang tahun yang ke-83 ini, Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia mampu kembali pada titahnya, yaitu sebagai pemersatu serta alat penjuangan bangsa. Sehingga kita dapat bersama-sama melanjutkan perjalanan panjang untuk menjadikan sepakbola Indonesia menjadi lebih baik, hinggalah mencapai kegemilangan.

Akhir sekali, "Selamat ulang tahun PSSI yang ke-83. Beranjak tua itu pasti, namun menjadi lebih dewasa, bijaksana dan berprestasi itu pilihan"

Selesai..