13 Desember 2013


"Tidak ada hal yang lebih sulit dari menjaga keseimbangan antara popularitas, profesionalisme dan kenyamanan hidup" 


Pada suatu malam, beberapa hari setelah Evan Dimas dan kawan-kawan tim nasional usia 19 tahun berhasil menekuk Korea Selatan, dan memastikan satu tiket ke putaran final Piala Asia U-19. Salah satu rekan wartawan menghubungi saya melalui fasilitas direct message (DM) di salah satu akun twitter saya @bepe20s.

Ketika itu rekan wartawan tersebut mencoba meminta komentar saya mengenai euforia masyarakat, terhadap kesuksesan yang diraih oleh Evan Dimas dan kawan-kawan. 

Saat itu saya menjawab demikian:

"Evan Dimas dan kawan-kawan membuktikan jika mereka adalah bibit-bibit unggul, sekarang tinggal bagaimana kita mengawal bibit-bibit unggul tersebut hingga menjadi mumpuni di level senior. Kita sudah terlalu banyak melakukan kesalahan dimasa lalu, maka jangan ulangi lagi kesalahan-kesalahan tersebut"

Mendengar penjelasan saya tersebut, rekan wartawan tadi menjadi penasaran. Dia menilai ada pesan tersembunyi dibalik kalimat yang saya sampaikan. Maka singkat cerita terjadilah sebuah diskusi hangat antara kami, yang dalam hal ini sama-sama berprofesi sebagai pewarta berita.

Saya menyampaikan, jika musuh terbesar seorang atlet ada tiga hal. Tiga hal tersebut adalah cedera, kejenuhan, dan popularitas. Penjabarannya adalah sebagai berikut:

Cedera: 

Tidak dapat dimungkiri jika cedera adalah momok paling menakutkan bagi seorang atlet. Tidak sedikit atlet berbakat di dunia dipaksa menepi lebih dini, karena mengalami cedera yang parah, serta berkepanjangan.

Cedera merupakan ujian paling berat bagi seorang atlet. Karena jika tidak mendapatkan penanganan secara benar, baik secara medis maupun psikologis, dapat berpotensi menimbulkan rasa frustasi. Dan jika sudah demikian, maka efek kelanjutannya bisa jadi adalah penurunan kepercayaan diri, serta kualitas permainan.

Berikutnya adalah kejenuhan:

Hal ini biasanya terjadi karena aktivitas yang sama dengan frekuensi yang sangat tinggi. Kehidupan seorang atlet itu sangat monoton. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berlatih, berlatih, berlatih dan bermain.

Jika tidak pandai-pandai dalam mengatur waktu, serta mencari kesibukan lain untuk sekedar me-refreshing diri, maka kejenuhan akan dengan mudah datang menghampiri. Biasanya setiap atlet memiliki trik dan cara masing-masing agar dapat terhindar dari kejenuhan. 

Jika kejenuhan datang, maka gairah untuk bermain akan mengalami penurunan. Hal tersebut akan mengakibatkan menurunnya kualitas permainan. Biasanya obat paling mujarap untuk hal ini adalah, berlibur dan sejenak melupakan, atau menjaga jarak dari segala sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan.

Dan yang terakhir serta paling berbahaya adalah popularitas:

Untuk profesi lain, popularitas bisa jadi menjadi tolok ukur dari sebuah kesuksesan. Namun bagi atlet teori tersebut tidak berlaku. Kesuksesan seorang atlet tergantung dari seberapa keras kerja atlet tersebut diatas lapangan.

Ketika kita berbicara mengenai sebuah kesuksesan, maka mau tidak mau kita juga harus membawa serta sebuah popularitas. Karena ketika seorang atlet mencapai sebuah kesuksesan, maka dengan sendirinya popularitas akan berjalan tepat di belakangnya.

Secara tersirat, popularitas sendiri akan membuat hidup kita menjadi jauh lebih mudah. Popularitas akan membuat kita dapat membuka jalan baru dalam setiap sendi kehidupan sosial kita. Beberapa teman baru dari berbagai macam kalangan. Serta beberapa kesempatan baru dari berbagai macam bidang. Namun hal tersebut juga akan disertai pula dengan tantangan baru, dari hal-hal yang mungkin tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. 

Perubahan reaksi masyarakat terhadap seorang atlet yang tiba-tiba menjadi populer, tanpa disadari akan merubah sifat atlet itu sendiri. Jika ia dapat menyikapi dengan bijaksana, maka hal tersebut akan menjadi tambahan motivasi, untuk menjadi lebih bertanggung jawab terhadap profesi yang ia tekuni. Namun sebaliknya, jika salah dalam merespon, maka bahaya besar serta merta akan mengintai, dan bersiap untuk menerkam.

Perubahan sikap masyarakat yang didasari popularitas, biasanya dipengaruhi oleh gencarnya pemberitaan dari media masa. Disinilah letak permasalahan yang sebenarnya. Maraknya pemberitaan yang awalnya dilakukan sebagai bentuk dukungan. Ketika sampai kepada tahap yang berlebihan, tanpa kita sadari malah akan menjadi beban yang sangat berat bagi mereka.

Kaitannya dengan para pemain tim nasional usia 19 tersebut, tentu karena mereka adalah para pemain muda. Secara kejiwaan, tingkat kedewasaan mereka juga masih belum begitu matang. Ekspektasi masyarakat yang berlebihan, menurut pendapat saya malah dapat berpotensi mengebiri kemampuan mereka. Ekspektasi masyarakat yang begitu tinggi akan membuat mereka berada dalam sebuah tekanan yang begitu hebat.

Ini yang harus kita cermati bersama. Pengalaman dimasa lalu menyampaikan fakta, jika tidak sedikit pemain muda kita layu sebelum berkembang, karena tingginya ekspektasi masyarakat terhadap kualitas permainan mereka. Sebuah hal yang sudah seharusnya tidak kita ulangi lagi, baik saat ini, atau dimasa yang akan datang,

Biarkanlah mereka berkembang sesuai dengan tingkatan umurnya. Jangan berikan beban yang terlalu berlebihan. Dengan apa? dengan memberitakan secara wajar, dan proporsional. Puji mereka ketika berhasil, namun kritisi juga jika ada hal-hal yang tidak semestinya.

Kedahagaan kita akan sebuah tim nasional yang tangguh, jangan serta merta membutakan nilai-nilai objektifitas kita. Karena kritik jujur yang sifatnya membangun, sejatinya akan membuat mereka menjadi lebih kuat dikemudian hari.

Akhir sekali, saya menutup diskusi kami tersebut dengan kalimat sebagai berikut:

"Cedera dan kejenuhan adalah musuh besar yang berada dalam ruang lingkup si atlet. Artinya hal tersebut berada ditangan atlet itu sendiri. Dan saya yakin jika setiap atlet paham betul dengan konsekuensi tersebut.

Namun untuk hal terakhir yang bernama popularitas, hal tersebut berada di tangan kita. Ditangan masyarakat luas, khususnya para pewarta berita, seperti kita. Oleh karna itu, mari kita lebih bijaksana dalam menyikapi euforia keberhasilan tim nasional usia 19 tahun kita ini. 

Karena menjaga mereka adalah tanggung jawab kita bersama".


Selesai....