Pagi tgl 9 Desember 2011, saya menerima pesan melalui SMS dan BBM dari dua sahabat saya, mereka menyampaikan berita mengenai dilarangnya para pemain yang berlaga di Indonesian Super League untuk membela tim nasional Indonesia. Kebetulan dua sahabat saya tersebut berstatus sebagai pemain nasional dan bermain di kompetisi ISL. Jawaban saya kepada mereka adalah, "Memang seharusnya demikian, karena memang begitulah aturan yang saya tahu". Di seberang sana dua sahabat saya tersebut nampak tidak puas mendengar jawaban saya tersebut..



Hal tersebut diatur dalam pasal 79 statuta FIFA, jadi bukan aturan yang dibuat oleh Ketua Umum PSSI baik Djohar Arifin maupun Nurdin Halid di era sebelumnya. Jika PSSI tidak memberlakukan larangan tersebut, maka saya malah akan menilai mereka sebagai sekumpulan para pengecut, karena tidak berani menghukum pihak-pihak yang menurut pandangan PSSI telah melanggar aturan. Dengan memberlakukan hal tersebut, maka setidaknya membuktikan bahwa mereka adalah para pemimpin yang tegas, berwibawa sekaligus juga mempunyai komitmen..



Tanggal 11 Desember 2011 kebetulan juga pada pagi hari, saya membaca sebuah link berita yang memuat pernyataan dari Ketua Umum PSSI Djohar Arifin, yang inti dari berita tersebut berisi demikian: "Tim-tim yang mbalelo dan bermain di luar kompetisi PSSI secara otomatis akan turun ke level dibawahnya". Dan sekali lagi, saya setuju dengan pernyataan yang di buat oleh Ketua Umum PSSI tersebut. Karena memang logikanya, jika sebuah tim tidak dapat mengikuti sebuah kompetisi dengan alasan ketidak mampuan atau ketidak mauan, maka tim tersebut secara otomatis akan terdegradasi..



Nah sampai disini dulu pembahasan kita mengenai dua keputusan PSSI tersebut, nanti kita akan bahas kembali di paragraph yang lain. Sekarang mari kita menggali apa sih akar permasalahan yang sebenarnya, sehingga situasi persepakbolaan negeri kita ini menjadi semakin semrawut dan tidak karuan begini..??



Awal sekali mari kita mengingat peristiwa gerakan untuk mereformasi sepakbola Indonesia setahun yang lalu, apa sih semangat reformasi kita saat itu..?? Saya yakin kita semua masih ingat, kurang lebihnya adalah "Menyelamatkan dan memperbaiki persepakbolaan Indonesia yang ketika itu kita anggap berada di tangan orang-orang yang korup, bertindak otoriter serta berorientasi politik"..



Pada buku saya "BEPE20: Ketika Jemariku Menari" dalam beberapa kesempatan saya sering menyampaikan, bahwasanya saya sangat setuju dengan reformasi di tubuh PSSI ketika itu, akan tetapi mari kita lakukan reformasi tersebut sesuai dengan koridor-koridor yang berlaku. Dan pada akhirnya, setelah melalui kongres yang bekepanjangan dan sangat memelahkan, rezim penguasa sepakbola Indonesia ketika itu pun dapat digulingkan..



Semua orang bertepuk tangan meriah, semua orang merasa puas dan semua orang merasa yakin bahwa ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk membangun persepakbolaan negeri ini ke arah yang lebih baik. Seketika mimpi kita pun membungbung dengan tingginya, mimpi akan tim nasional yang tangguh dan dapat bersaing di level dunia serta mampu memberikan kebanggaan bagi bangsa pun terpatri di dalam sanubari..



Ada sebuah teori tak tertulis yang menyatakan bahwa, kunci keberhasilan

sebuah negara dalam membangun sebuah tim nasional yang kuat adalah sebaik mana negara tersebut dapat menjalankan roda kompetisi yang profesional, kompetitif, fair dan tentu juga harus kondusif. Salah satu contohnya adalah bagaimana Jepang, Korea, Jerman, Prancis, Italia, Spanyol, Portugal, Belanda dan Inggris yang sukses membangun sebuah tim nasional yang kuat karena mampu meletakkan pondasi dasar yang sangat kuat pada kompetisi mereka..



Teori tersebut memang sedikit terbantahkan oleh negara-negara di Afrika yang mampu membangun sebuah tim nasional yang tangguh walaupun liga di negara mereka belum dapat di katakan cukup mapan. Disini ada satu hal yang menarik untuk di cermati, yaitu negara-negara Afrika tersebut memiliki banyak sekali pemain-pemain yang berkelana di klub-klub Eropa, yang notabene memiliki liga yang mapan dan profesional..



Dengan kata lain ada dua jalan yang dapat di tempuh untuk dapat memiliki sebuah tim nasional yang tangguh, yaitu membangun sebuah liga yang profesional, kompetitif, fair  dan kondusif atau mengirimkan sebanyak-banyaknya pemain muda kita untuk bermain di Eropa yang dalam hal ini memiliki kompetisi yang mapan serta baik. Dengan demikian diharapkan ilmu dan pengalaman yang mereka dapatkan di tanah rantau dapat berguna bagi kemajuan tim nasional negaranya..



Untuk saat ini, mengirimkan pemain-pemain muda di klub Eropa memang sudah mulai di jalankan, akan tetapi jumlahnya masih sangat-sangat sedikit. Oleh karena itu masih butuh waktu lama untuk memetik hasilnya. Maka jalan yang paling mendasar, paling penting serta sangat krusial adalah membangun kompetisi tertinggi yang profesional, kompetitif, fair serta kondusif. Dan untuk hal yang satu ini saya yakin kita semua akan menganggukkan kepala tanda setuju..



Apa sih sebenarnya semangat dan hakekat kompetisi itu sendiri..?? Menurut hemat saya, semangat dan hakekat kompetisi itu sendiri adalah membuat sebuah iklim persaingan positif yang pada akhirnya akan menghasilkan siapa yang terbaik, siapa yang pantas bertahan dan siapa yang harus rela turun kasta. Menurut saya ini adalah pedoman dasar, karena tanpa menghasilkan tim juara, tim yang mampu bertahan dan tim yang harus terdegradasi, maka tensi dan kualitas kompetisi akan datar-datar saja dan tidak menarik sama sekali..



Nah disinilah menurut saya titik awal permasalahan yang sebenarnya. Setelah proses reformasi yang berjalan dengan sedemikian baik nya, maka tahap selanjutnya yang paling krusial adalah segera menjalankan roda kompetisi dengan baik. Dan disinilah bola salju itu mulai bergulir. Berawal dari jumlah kontestan yang direncanakan membengkak menjadi 36 tim dengan sistem 2 wilayah, kemudian dikurangi menjadi 24 tim dengan sistem 1 wilayah, apalagi di bumbui dengan proses verifikasi yang sekenanya serta penyusunan jadwal yang amburadul, pada akhirnya membuat tim-tim kontestan merasa sangat tidak puas dengan kinerja tim penyelenggara kompetisi yang baru..



Hal tersebut diperparah dengan bersikerasnya PSSI memasukkan nama 6 tim ke kasta tertinggi kompetisi di Indonesia. Tim-tim tersebut adalah Persibo Bojonegoro, PSM Makassar, Persebaya Surabaya, Persema Malang, PSMS dan Bontang FC. Untuk Persibo, PSM dan Persema seperti kita ketahui bersama musim kemarin di turunkan kastanya ke divisi utama karena memilih untuk boyongan keluar dari liga, sedang Persebaya  sendiri memang musim kemarin bermain di divisi utama dan pada akhirnya juga memilih bergabung dengan liga di luar PSSI..



Mengenai Persibo, Persema, PSM dan Persebaya PSSI berargumentasi bahwa hukuman mereka sudah diputihkan oleh EXCO PSSI. Nah dalam hal ini sebagai pemain, sejujurnya saya tidak begitu paham mengenai aturan keorganisasian beserta segala pernak-pernik yang mengatur didalamnya, oleh karena itu saya tidak ingin berkomentar lebih panjang lagi..



Dalam kasus ini yang paling membingungkan adalah, naiknya PSMS Medan yang oleh PSSI dinilai sebagai tim yang memiliki sejarah dan sumbangsih yang sangat besar kepada perkembangan sepakbola Indonesia. Serta yang terakhir Bontang FC yang dikembalikan oleh PSSI ke kasta tertinggi dengan alasan sebagai tim degradasi terbaik..



Dalam hal ini PSSI jelas mencederai hakekat dan semangat kompetisi seperti yang saya sampaikan di awal tadi. Karena di belahan dunia manapun (Tolong dikoreksi jika saya salah) tidak ada sebuah tim promosi ke kasta tertinggi hanya berdasarkan catatan sejarah kebesaran klub tersebut, apalagi tim yang berstatus tim degradasi terbaik. Jika tim yang berhasil bertahan setelah melalui tahapan play off mungkin masih dapat diterima, akan tetapi sebagai tim degradasi terbaik tentu hal ini juga akan sangat sulit untuk diterima akal sehat..



Hal inilah yang pada akhirnya membuat tim-tim kontestan kasta tertinggi kompetisi di Indonesia merasa tidak puas dan akhirnya memilih melanjutkan kompetisi Liga Super Indonesia sama seperti format musim yang lalu. Padahal jika kita tengok sedikit kebelakang, para penggagas dilanjutkannya Liga Super Indinesia sendiri adalah orang-orang yang setahun yang lalu juga ikut dalam gerakan mereformasi PSSI. Kebijakan-kebijakan yang salah kaprah inilah yang pada akhirnya menjadi pemicu kembali bergulirnya dualisme kompetisi di negeri ini..



Jikalau pada akhirnya PSSI menghukum tim-tim yang saat ini memilih bermain di Liga Super Indonesia, maka seyogyanya PSSI juga jangan mengampuni Persibo, Persema, Persebaya dan PSM yang musim kemarin mendapatkan hukuman karena melakukan hal yang sama. Karena ini dapat menjadi preseden buruk di kemudian hari, jika misalnya tahun iji PSSI mengampuni empat tim tersebut, maka bisa jadi tim-tim yang tahun ini di hukum bisa juga mengajukan pengampunan seperti yang di dapat Persibo, PSM, Persema dan Persebaya, dan dalam hal ini PSSI juga harus bersikap adil..



Dan jika tim-tim ISL yang tahun ini dihukum mendapatkan ampunan, maka di tahun-tahun kemudian jumlah kontestan kompetisi akan semakin membengkak, membengkak dan membengkak lagi. Sehingga pada akhirnya dengan jumlah kontestan yang melebihi kuota tentu imbasnya adalah jadwal kompetisi akan semakin padat, dan dengan jadwal kompetisi yang padat maka yang menjadi korban adalah kondisi fisik para pemain..



"Seandainya, Oh Seandainya". Jika saja PSSI tidak memaksakan naiknya 6 tim diatas dan melanjutkan gerbong Liga Super Indonesia yang lalu, walaupun mungkin harus mengganti nama liganya dengan apa saja dan mengganti semua pengurus Liga Super Indonesia musim kemarin dengan pengurus yang baru. Maka saya yakin jika saat ini kita tengah menjalani sebuah kompetisi yang Insya Allah profesional, kompetitif, fair serta kondusif seperti apa yang pengurus PSSI baru dengung-dengungkan selama ini..



Tidak akan ada lagi dualisme kompetisi yang membuat bingung serta muak para penikmat bola di negeri ini. Dengan begitu tidak akan ada juga cerita pemain dilarang bermain untuk tim nasional Indonesia, seperti yang dua sahabat saya keluhkan di paragraph awal artikel ini. Karena semua tim akan berkompetisi di dalam satu wadah, yaitu di bawah PSSI sebagai induk organisasi sepakbola tertinggi di Republik Indonesia ini..



Akhir sekali, diatas segala perselisihan para elit pengurus sepakbola di tanah air kita tercinta ini, yang paling menjadi korban nantinya adalah para pelaku dilapangan yaitu pemain, pelatih, wasit serta perangkat pertandingan. Karena jika pada akhirnya persepakbolaan Indonesia ini benar-benar mati (Amit-Amit semoga saja tidak) maka mereka-mereka yang selama ini berseteru dapat saja kembali ke aktivitas keseharian mereka selain mengurus sepakbola, kembali menjadi pelaku bisnis, menjadi anggota DPR/MPR, menjadi walikota/bupati dan masih banyak lagi (Karena memang kebanyakan dari mereka mengurus sepakbola hanyalah kesibukan sampingan)..



Sedangkan para pelaku dilapangan seperti pemain, pelatih, wasit dan para perangkat pertandingan, mereka akan kehilangan mata pencaharian mereka dan harus bersusah-payah untuk memulai lembaran hidup mereka yang baru. Inilah hal yang mungkin luput atau malah tidak terpikirkan sama sekali oleh bapak-bapak yang sedang berseteru diatas sana..



NB: Artikel ini berkaitan erat dengan mengapa saya memilih bermain di ISL bukan di IPL. Tunggu artikel saya selanjutnya yang berjudul "Satu Bintang Itu Milik Kami"..



Selesai..