Inkonsistensi

Ada dua reaksi yang menurut saya dapat dijadikan landasan untuk menyikapi isu pengaturan juara liga yang kembali merebak tahun ini.

Pertama. Jika kita sepakat, bahwa selama ini juara liga memang sudah diatur, maka tidak boleh ada tim atau kelompok suporter manapun yang mengklaim dan berkata bahwa, "Ketika kami juara dulu, murni karena kualitas dan kerja keras tim” (seperti diri saya dulu).

Atau, jika kita merasa sepak bola Indonesia ini baik-baik saja, dan semua sudah sesuai dengan aturan, serta regulasi yang berlaku. Maka kita nikmati saja “drama”, atau “dagelan” yang selama ini terjadi. Siapapun yang menjadi juara ya, anggap saja memang pantas menjadi juara.

Karena menjadi lucu, ketika kita menunjuk tim lain juara dengan cara diatur, sedang ketika tim kita juara merasa murni berkat perjuangan tim. Ada inkonsistensi di sana (seperti saya dulu).

Jika anda bertanya kepada saya, mana yang akan saya pilih? maka saya akan memilih reaksi yang bertama. Karena faktanya, selama ini (setidaknya sejak saya kenal dan mengikuti liga Indonesia, Ligina 1) terlalu banyak kejadian-kejadian yang patut, dan layak untuk diperdebatan setiap tahunnya.

Anggap saja liga Indonesia bisa diatur, dan saya malah “BERHARAP” selama ini memang sudah diatur, maka ayo kita selesaikan masalah ini bersama-sama.

Liga Indonesia sudah berubah menjadi "Liga Saling Curiga". Ini terjadi karena terlalu banyaknya pemegang posisi penting di federasi yang berafiliasi dengan klub-klub peserta. Potensi terjadinya conflict of interest sangatlah besar.

Hal tersebut membuat setiap keputusan yang dibuat oleh federasi, melalui struktur kepengurusan di bawah nya diindikasi menguntungkan klub, atau pihak tertentu. Tentu ini menjadi preseden buruk, dan harus dibersihkan.

Dalam banyak hal sebagai sebuah bangsa kita selalu berkata, “Untuk masa depan yang lebih baik”. Namun faktanya, kita selalu setengah-setengah dalam memberbaiki segala permasalahan yang terjadi di Republik ini.

Begitu juga dalam sepak bola, kita selalu berteriak jika “Juara liga dapat dipesan, atau diatur”. ini jelas sebuah penyakit kronis. Namun faktanya, kita tidak pernah benar-benar mau untuk membongkar, membuktikan, dan menyembuhkan penyakit kronis tersebut.

Jika benar ada pengaturan juara di sepak bola kita, maka permainan tersebut hanya bisa dilakukan oleh mereka yang berada di ruang lingkup level tertinggi sepak bola kita. Artinya penyakit tersebut adanya di federasi, dan yang berkompeten dan memiliki bukti untuk mengungkap masalah ini, ya mereka yang berada di ruang lingkup level tersebut.

Para pelaku (pemain, pelatih), apalagi penikmat (penonton) hanya bisa menduga-duga, saling curiga, dan saling “nyinyir” sana-sini. Kita merasakan kejanggalan, tapi tidak memiliki cukup data untuk membuktikan. Kita bisa saja menyebut nama, tapi kita tidak memiliki cukup data untuk mengungkapnya.

Yang kita mampu ya hanya sibuk berteriak dan menuding orang lain ketika kita dirugikan, namun diam ketika merasa diuntungkan.

Bersambung….