Hotel Mangkuputra, Cilegon, Banten - 18 November 2011


Langit masih nampak gelap gulita ketika saya keluar dari pintu rumah dan menyalakan mobil saya, waktu di jam tangan saya menunjukkan pukul 04:00 WIB. Udara dingin pagi ini cukup mampu memaksa saya untuk membalut tubuh saya dengan sebuah jaket, dan pilihan saya pagi ini jatuh pada jaket berwarna hitam dengan kombinasi warna orange bertuliskan Persija Jakarta di bagian belakangnya.


Sambil menyerahkan sebuah termos kecil berisi kopi panas, Dewi istri saya berkata "Hati-hati ya cin, pelan-pelan saja nyetirnya, kalo sudah sampai jangan lupa kabarin". "Iya sayang, pasti aku kabarin" jawab saya lirih sambil menerima setermos kopi dari tangan istri saya. Beberapa saat kemudian, setelah mesin mobil saya rasa cukup panas dan setelah mencium Dewi istri saya tercinta, maka sayapun bergegas memacu kendaraan saya membelah suasana dingin dan tipisnya kabut pagi ini..


Tujuan saya pagi ini adalah untuk bergabung dengan tim Persija Jakarta yang tengah melakukan pemusatan latihan di hotel Mangkuputra, Cilegon, Banten. Jalanan kota Jakarta pagi ini masih sangat lengang, sangat bertolak belakang dengan saat di siang hari. Selama perjalanan banyak sekali hal berkecamuk dalam benak saya. Hal-hal yg berkaitan dengan pekerjaan saya sebagai pesepakbola silih berganti lalu-lalang di kepala saya ketika ini. Ingin rasanya saya menuliskan hal-hal tersebut di iPad kesayangan saya. Akan tetapi apalah daya, tidak mungkin juga saya melakukan dua buah hal yg sama-sama membutuhkan konsentrasi tinggi secara bersamaan, yaitu menulis dan mengemudikan kendaraan..


Andai saja saya Adam Gibson (Arnold Schwarzenegger) dalam film The 6th Day yang tinggal mengatakan mana tujuan saya dan mobil akan berjalan dengan sendirinya. Atau mungkin Tony stark (Robert Downey Jr) dalam Iron Man yang memiliki asisten super cangging bernama Jarvis, makan saya yakin dalam 1,5 jam kedepan saat saya memasuki kota Cilegon, sebuah artikel utuh sudah berada di dalam iPad saya dan siap disajikan di blog saya bambangpamungkas20.com. Namun pada akhirnya dikarenakan keterbatasan kemampuan tersebut,keinginan untuk menulispun harus saya tahan hinga siang harinya..


Keterpurukan tim nasional Indonesia dalam mengarungi babak kualifikasi piala dunia 2014 menyisakan kegundahan serta kekecewaan yang luar biasa di hati seluruh masyarakat Indonesia. Tanpa mendapatkan satu poinpun dari 5 kali pertandingan jelas sebuah hasil yang menyedihkan atau dapat juga dikatakan sangat memalukan. Terlepas dari kualitas lawan-lawan yang dihadapi memang lebih baik, akan tetapi seharusnya kita mampu berbuat atau menyajikan penampilan yang lebih baik dari apa yng sudah kita pertontonkan selama gelaran kualifikasi ini..


Seperti yang pernah saya sampaikan dalam artikel (Bola Itu Berada Di Tangan Kita - 2009), bahwa - "Harus selalu ada pihak yang bertanggung jawab dalam setiap kegagalan". Begitu pula saat ini, banyak sekali suara-suara di luar sana yang menunjuk pelatih kepala tim nasional Indonesia Wim Rijsbergen sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas hasil buruk tim yang didapat nasional saat ini.. 


Hal tersebut membuat begitu banyak orang menginginkan pelatih berkebangsaan Belanda tersebut untuk lengser diri dari jabatan pelatih kepala tim nasional Indonesia. Disamping itu, tidak kalah banyak juga masyarakat yang menginginkan kapten tim nasional Bambang Pamungkas dan wakil kapten ti nasional Firman Utina untuk mengundurkan diri dari tim nasional Indonesia..


Pada artikel ini ijinkan saya untuk membahas perihal pelatih tim nasional Wim Rijsbergen terlebih dahulu, sedang perihal tuntutan pengunduran diri kepada Bambang Pamungkas dan Firman Utina nantinya akan saya bahas di bagian akhir dari artikel ini..


Dalam jumpa pers setelah pertandingan Indonesia melawan Iran yg berkesudahan 1:4 untuk kemenangan anak asuhan Carlos Queroz tersebut, saya sempat berbicara cukup keras di depan semua awak media yg hadir ketika itu. Beginilah kurang lebih ucapan saya ketika itu:


"Saya adalah pribadi yang selalu berusaha untuk menilai segala sesuatunya secara fair. Dahulu ketika Alfred Riedl dipecat, saya adalah pemain yang berteriak paling lantang dalam menyuarakan ketidak sependapatan saya. Ketika itu saya sama sekali tidak menolak kehadiran Wim sebagai pelatih tim nasional, akan tetapi yang saya kritisi adalah keputusan PSSI yang terkesan semena-mena dalam memperlakukan Alfred Riedl. Saya menilai keputusan PSSI untuk melengserkan Riedl ketika itu sarat muatan muatan politis..


Beberapa waktu yang lalu saat kita kalah melawan Bahrain dan Wim terkesan menyalahkan para pemain, saya adalah orang pertama yang bersinggungan langsung dengan beliau. Bahkan dikarenakan hal tersebut, sejujurnya kami sempat tidak berjabat tangan dan tidak saling tegur dalam beberapa waktu. Akan tetapi saat ini, ketika semua orang menyalahkan Wim atas kegagalan tim nasional Indonesia untuk bermain baik selama penyisihan piala dunia 2014, saya jugalah orang pertama yang akan membela pelatih saya tersebut..


Mengapa demikian..?? Terlepas dari kekurangan dan kelebihan Wim sebagai seorang pelatih, semua pihak juga harus turut bertanggung jawab atas kegagalan ini. Sangat kurang bijaksana rasanya jika hanya pelatih yang dipersalahkan. Semua pemain termasuk saya pribadi sebagai kapten tim nasional Indonesia juga harus mempertanggung jawabkan kinerja kami. Demikian halnya dengan Ketua Umum PSSI Bpk Djohar Arifin yang juga harus berjiwa besar mengakui kegagalannya..


Bagaimana kita dapat menghadapi event sebesar kualifikasi piala dunia dengan baik, jika liga Indonesia sendiri sudah tidak bergulir selama kurang lebih 5 bulan. Pemain tidak memiliki jam terbang kompetitif di tiap minggunya, tidak ada ujicoba international yang cukup memadai, belum lagi kekacauan penyusunan kompetisi yang semrawut yang dampaknya membuat beberapa tim tidak dapat melakukan persiapan dengan maksimal. Hal tersebut membuat banyak pemain tidak dapat menjalankan program latihan dengan baik serta maksimal sebagaimana mestinya..


Sebagai contoh, jika seorang pelatih merasa kurang puas dengan kinerja pemainnya, maka logikanya pelatih tersebut akan memanggil pemain baru untuk menambah daya dobrak atau kekuatan tim. Dalam hal ini Wim tidak dapat melihat pemain-pemain baru karena tidak ada kompetisi yang sedang bergulir. Keterbatasan stok pemain karena tidak adanya kompetisi tersebut, juga merupakan salah satu kendala besar yang mau ngga mau harus dialami oleh Wim dalam meramu kekuatan tim nasional Indonesia saat ini..


Hal tersebutlah yang mendasari pendapat saya jika kegagalan ini bukan semata-mata menjadi tanggung jawab Wim. Wim memang harus bertanggung jawab sesuai dengan porsinya sebagai pelatih kepala tim nasional, akan tetapi kami seluruh pemain juga harus bertanggung jawab, karena walau bagaimanapun kami adalah pasukan yang berjibaku secara langsung di atas lapangan. Ketua Umum PSSI juga harus bertanggung jawab, mengapa..?? karena jalan atau tidaknya roda kompetisi di Indonesia ini jelas berada di tangan beliau, sebagai pengambil keputusan tertinggi dalam organisasi bernama PSSI"..


Oleh karena itu, sebagai bentuk pertanggungjawaban itu, saya sangat setuju jika nantinya diadakan evaluasi menyeluruh dalam tubuh tim nasional Indonesia saat ini. Apalagi jika kita melihat penampilan tim nasional U-23 yang sangat impresif selama gelaran SEA Games yang lalu. Menurut pendapat saya pribadi, pemain-pemain muda kita sudah cukup layak untuk mulai memikul tanggung jawab membela panji-panji tim nasional senior.. 


Pemain-pemain seperti Titus Bonai, Patrich Wanggai, Hasim Kipaw, Diego Michiels, Egi Melgiansyah, Okto Maniani, Andik Vermansyah, Abdurrahman dan juga Kurnia Meiga rasanya sudah cukup pantas diberi kesempatan untuk naik ke kelas tim senior..


Terlepas dari kegagalan tim nasional U-23 untuk meraih emas di SEA Games karena dikalahkan Malaysia di final, menurut pendapat saya dengan materi pemain-pemain seperti mereka, rasanya masa depan sepakbola Indonesia terlihat cukuplah cerah..


Sepakbola adalah olahraga tim, oleh karena itu tidak akan pernah terjadi sebuah individu menjadi lebih penting daripada sebuah tim itu sendiri. Kita tidak akan pernah mampu memenangkan pertandingan hanya karena satu atau dua individu yang spesial. Kemenangan sebuah tim akan selalu terjadi dari hasil kinerja semua individu di dalam tim tersebut. Satu, dua individu mungkin saja tampil lebih menonjol dari individu yang lain, akan tetapi itu bukan menjadi sebuah alasan untuk tidak mengapresiasi kinerja individu-individu yang lain..


Begitu pula sebaliknya, kekalahan atau kegagalan sebuah tim tidak seharusnya juga hanya menjadi tanggung jawab beberapa individu saja. Satu, dua individu mungkin saja tampil di bawah performa terbaik mereka, akan tetapi alangkah kurang bijaksananya jika kita hanya melemparkannya semua kesalahan kepada individu-individu tersebut. 


"Bukankah sebuah tim yang baik adalah tim yang terdiri dari individu-individu yang dapat saling mendukung, saling menutupi serta saling membantu antara individu satu dengan individu yang lain"..


Oleh karena itu dalam artikel (Indonesia Masih Bisa - 2010) saya pernah menyampaikan bahwa "Kita menang sama-sama dan sudah seharusnya kita juga kalah bersama-sama". Maka mari kita pertanggungjawabkan kegagalan ini bersama-sama. Pelatih, pemain dan juga Ketua Umum PSSI harus berjiwa besar untuk mempertanggungjawabkan kinerja nya sesuai dengan porsinya masing-masing..


Terlepas dari itu semua bagi saya pribadi, jika pertandingan melawan Iran kemarin pada akhirnya menjadi caps terakhir saya untuk tim nasional Indonesia, maka dengan lapang dada saya dapat menerima keputusan tersebut. Akan tetapi seperti apa yang juga sempat saya kemukakan dalam konferensi pers setelah pertandingan tersebut, bahwasanya:


"Masa depan saya di tim nasional, bukan berada di tangan rekan-rekan wartawan, bukan berada di tangan para suporter di luar sana, bukan di tangan komentator di TV-TV sana, bukan juga di tangan Ketua Umum PSSI Bpk Djohar Arifin. Masa depan saya di tim nasional berada di tangan pelatih tim nasional, siapapun nantinya yang akan menjabat sebagai pelatih tim nasional Indonesia. Ketika pelatih berkata "Bambang terima kasih atas kerja samanya, saya tidak membutuhkan tenaga kamu lagi", maka dengan sendirinya karir saya di tim nasional akan selesai saat itu juga. Sesederhana itu bukan..??


Akan tetapi sebaliknya, jika pelatih tim nasional masih memanggil dan membutuhkan tenaga saya, maka sudah menjadi kewajiban saya untuk memenuhi panggilan tersebut dan tidak alasan bagi saya untuk menolaknya. Ini bukan karena serakah atau tidak tahu diri, akan tetapi hal tersebut lebih kepada apresiasi tinggi dan tanggung jawab moral saya terhadap sebuah profesi yang telah membesarkan nama saya dan membuat saya dapat berada di tempat dimana saya berdiri saat ini"..


Dan saya yakin hal tersebut juga ada di benak sahabat dan yang juga wakil saya sebagai kapten tim nasional Indonesia Firman Utina. Menjadi pemain nasional adalah impian terbesar seluruh pemain sepakbola di belahan dunia manapun, karena hal tersebut merupakan sebuah tanggung jawab, sebuah kehormatan dan juga sebuah pengabdian seorang pemain sepakbola kepada olahraga yang mereka geluti dan juga kepada negara yang mereka cintai..


Sekali lagi kegagalan ini adalah tanggung jawab kita bersama, maka dari itu mari kita hadapi semua ini bersama-sama. Kegagalan demi kegagalan akan selalu meninggalkan rasa pahit yang luar biasa, serta tidak jarang rasa frustasipun timbul disana, akan tetapi itu semua tidak seharusnya membuat kita berhenti untuk berusaha dan berhenti berjuang untuk memperbaiki dunia persepakbolaan negeri yang kita cintai ini.


Karena: "If we stop trying, that means we are no better than a coward”..


Selesai..