"Sedang menjalani tour tanpa membawa buku bacaan itu sama halnya dengan bermain sepakbola di lapangan yang becek tanpa menggunakan sepatu pull enam".. Tetap dapat bermain memang, akan tetapi terselip perasaan tidak nyaman..


Sudah menjadi sebuah kebiasaan saya, jika setiap menjalani tour baik bersama Persija Jakarta maupun Tim Nasional saya selalu menyelipkan barang satu atau dua buah buku dalam bagasi saya. Sebagai pesepakbola ketika tengah menjalani partai away, maka dengan sendirinya saya akan banyak memiliki waktu luang untuk hanya sekedar berdiam diri di dalam kamar hotel..


Sebagai pribadi kebetulan saya adalah tipe orang rumahan, saya kurang suka bepergian ke mall untuk sekedar cuci mata atau sebagainya. Hal yang paling sering membuat saya meninggalkan hotel saat tour hanyalah berwisata kuliner, oh iya karena saya memang pencinta makanan. Di saat tidak ada kegiatan bersama tim, maka saya akan memilih berdiam diri di kamar. Dan saat-saat seperti itu biasanya saya manfaatkan dengan menulis atau membaca buku..


Itulah yang terjadi pada diri saya beberapa minggu yang lalu, saat menjalani tour bersama Persija Jakarta. Sebuah buku tentang Alm Robert Enke (Ex kiper Jerman) berjudul "A Life Too Short" yang sudah saya persiapkan sejak malam sebelum berangkat ternyata tertinggal di rumah. Mendapati buku yang saya siapkan tertinggal, maka sayapun segera memutuskan untuk berburu buku di sebuah toko buku di bandara Soekarno-Hatta. Seketika sebuah buku mencuri perhatian saya, buku berwarna putih dengan cover depan gambar karikatur sang penulis yang di antara ke dua belah telapak tangannya terdapat sebuah pelangi..


Saya cukup mengenal orang tersebut, bukan dalam arti yang sebenar-benarnya kenal memang, akan tetapi saya cukup sering mendengarkan beliau berdakwah dalam sebuah acara menjelang berbuka puasa di salah satu radio swasta di ibukota. Kata demi kata, kalimat demi kalimat yang beliau sampaikan baik melalui dakwah maupun tulisan-tulisannya memang tidak mudah untuk di cerna dan dipahami, kita perlu menyimak dengan sangat seksama atau membacanya berulang kali untuk memahami arti di sebalik setiap apa yang beliau sampaikan. Akan tetapi disitulah letak nikmatnya, maka tanpa berpikir panjang sayapun segera membeli buku yang berjudul "Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki" tersebut..


Beliau adalah Emha Ainun Nadjib, atau kita lebih sering mengenalnya dengan panggilan Cak Nun. Budayawan kondang asal Jombang - Jawa Timur ini tidak dapat saya pungkiri adalah salah satu dari sekian banyak tokoh di negeri ini yang saya kagumi. Cara beliau menyampaikan kritik, pandangan serta pemikiran dalam pembahasan-pembahasannya selalu mampu meresap sampai relung hati yang paling dalam, sekali lagi jika kita mampu mengartikan apa yang beliau sampaikan dengan benar..


Di bawah ini akan saya sampaikan sedikit kutipan dari sebuah tulisan beliau yang berdujul "Generasi Kempong" atau mungkin dalam bahasa lazim keseharian kita adalah "Generasi Ompong". Menurut saya apa yang beliau sampaikan ini, sangat tepat dan memang berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia saat ini..


 


                                                    "Generasi Kempong"


Salah satu jenis kelemahan manusia adalah kecenderungan terlalu gampang percaya atau terlalu mudah tidak percaya. Masih mendingan kalo mau mengkritik: "Cak Nun tulisannya susah dipahami, harus dibaca dua tiga kali baru bisa sedikit dipahami."


Saya jawab protes itu: "Anda kempong ya..?"


"Kok kempong.. Maksudnya..?"


"Kalau kempong ndak punya gigi, harus makan makanan yang tidak perlu dikunyah. Orang kempong ndak bisa makan kacang, bahkan krupuk pun hanya di-emut. Kalau orang punya gigi, dia bisa menjalankan saran dokter: Kalau makan kunyahlah 33 kali sebelum ditelan. Sekedar makanan, harus di kunyah sampai sekian banyak kali agar usus tidak terancam dan badan jadi sehat. Lha kok tulisan, ilmu, informasi, wacana - maunya langsung ditelan sekali saja". Teman saya itu NYERENGES..


Coba Anda pandang Indonesia yang ruwet ini. Wong kalau Anda mengunyahnya sampai seribu kalipun belum tentu Anda bisa paham. Segala ilmu sosial, ilmu politik, ilmu ekonomi dan kebudayaan mandeg dihadang keruwetan Indonesia. Ilmuwan-ilmuwan kelas satu saja kebingungan membaca Indonesia, lha kok Anda mau mengenyam makanan tanpa mengunyah. Yok opo se mbaaaah mbah, sampeyan iku jik cilik tapi kok wis tuwek..


Kebudayaan kita instan. Mi-nya instan. Lagunya instan. Maunya masuk sorga juga instan. Kalau bisa, dapat uang banyak langsung, ndak usah kerja ndak apa-apa. Kalau perlu ndak usah ada Indonesia ndak apa-apa, ndak usah ada Nabi dan Tuhan juga ndak apa-apa, asal saya punya duit banyak..


Sedangkan kitab suci perlu kita baca terus-menerus  sepanjang hidup, itupun belum tentu mendapatkan ilmu dan hikmah. Wong kita tiap hari shalat lima waktu rajin khusyuk sampai bathuk benthet saja belum tentu menemukan kebenaran. Wong naik haji sampai sepuluh kali saja belum dijamin akan memperoleh ridhollah. Lha kok sekali baca ingin mendapat kedalaman nilai, lha kok lagu-lagu pop diharapkan menawarkan kualitas hidup, Lha kok menyanyikan shalawat dianggap sama dengan bershalawat atau melakukan shalawat...


XXX..


Apa yang terjadi di Indonesia tercinta kita akhir-akhir ini sama persis dengan apa yang di gambarkan Cak Nun dalam cuplikan tulisan diatas. Terlalu banyak masyarakat kita yang mudah percaya juga sebaliknya mudah untuk tidak percaya. Media-media di Republik kita tercinta ini teramat sangat "Provokative" akhir-akhir ini, banyak orang-orang berpengaruh negeri ini yang menggunakan media baik televisi, online maupun cetak dengan untuk menancapkan pengaruhnya kepada masyarakat dan terkadang juga untuk menjatuhkan para pesaingnya..


Hal tersebut juga berlaku dalam ranah sepakbola, dua kekuatan yang selama ini bersaing mulai saling sikut dan saling tackle menggunakan kekuatan media mereka masing-masing. Oleh karena itu, sebagai pembaca tentu kita diwajibkan untuk lebih bijak, lebih cermat dan lebih sensitif dalam menanggapi setiap pemberitaan mengenai dunia persepakbolaan Indonesia yang semakin semrawut ini.


Saya tertarik dengan Tweet salah satu sahabat SMP saya  yang bernama Adi Heri Santoso (@adi_heri) pada suatu ketika, tweet tersebut berisi demikian:


"Nonton berita bola Indonesia itu harus dicermati siapa yang memberitakan ya ck ck ck.."


Demikianlah kenyataan yang terjadi saat ini. Media kita sudah terkotak-kotak, memang masih ada yang berusaha untuk senetral mungkin, akan tetapi jumlahnya sangat-sangat minoritas.  Judul tulisan yang mengomentari perihal sepakbola dibuat se-provokative mungkin, sehingga membuat pembaca langsung ingin bereaksi karena merasa telah mengerti apa kira-kira penjabarannya, bahkan tanpa harus membaca tulisan tersebut terlebih dahulu..


Demikian halnya dalam dunia per-Twitter-an, banyak dari kita hanya meng-RT sebuah link berita sambil memberi komentar tanpa membaca isi berita tersebut terlebih dahulu. Hal tersebut pada akhirnya mengakibatkan kita gagal paham terhadap maksud di balik sebuah berita. Tweet orang-orang yang mengomentari permasalahan sepakbola Indonesia pun juga tak luput dari virus-virus kebencian itu sendiri. Masyarakat yang pro si X akan selalu membanggakan setiap kebijakan si X, hal tersebut tentu juga akan dilengkapi dengan menutupi-nutupi segala kelemahan si X. Demikian pula sebaliknya, masyarakat yang pro si Y juga akan melakukan hal yang persis sama..


Rasa suka dan tidak suka terhadap seseorang atau golongan tertentu, terlalu sering kita kedepankan terlebih dahulu sehingga meninggalkan rasio kita dalam berpikir dan menyikapi berita yang menyangkut sebuah keadaan. Maka seperti apa yang disampaikan Cak Nun diatas, bak makanan mari kita mengunyah dahulu berita tersebut sebanyak 33 kali sebelum kita benar-benar menelan berita-berita tersebut (Bereaksi atau Menanggapi berita tersebut)..


Karena tanpa kita sadari bersama, kita semua ini telah menjadi wayang dari dua dalang hebat yang tengah berseteru saat ini. Kita hanyalah si Gareng, si Petruk dan juga si Bagong yang selalu berusaha menyajikan kelucuan-kelucuan sebagai bumbu penyedap megahnya sebuah pertunjukan wayang itu sendiri..


Padahal si Gareng, si Petruk dan si Bagong tadi (Kita-kita ini) belum tentu paham dengan jalan cerita yang di skenariokan si dalang itu sendiri. Yang mereka tahu hanyalah berprilaku selucu mungkin, sehingga para pemirsa dapat sedikit meregangkan syaraf nya agar tidak terlalu kaku dalam menikmati cerita pewayangan yang serius terus menerus. Maka sekali lagi tanpa kita sadari, kita telah terbawa dalam pusaran perseteruan hebat antara Ki Anom Suroto dan Ki Manteb Sudarsono..


Maka marilah menjadi manusia yang BEBAS, manusia yang bebas menyampaikan segala sesuatu berdasarkan apa kata hati dan nurani kita masing-masing. Bukan karena suruhan, paksaan, perintah atau bahkan larangan dari pihak-pihak manapun. Mari kita menjadi tuan bagi diri kita sendiri..


Di akhir artikel ini, jika Anda sekalian sudah merasa mengerti dengan apa yang ingin saya sampaikan hanya dari sekedar sekilas membaca tulisan ini, atau malah lebih parah lagi hanya dari menafsirkan judul dari artikel ini, dan saya yakin jika tidak sedikit yang akan salah menafsirkan. Maka "Iya,, Anda sekalian adalah Generasi Ompong"..


NB: Mengenai Ki Anom Suroto dan Ki Manteb Sudarsono, tunggu tulisan saya yang berjudul "Ki Anom Suroto Vs Ki Manteb Sudarsono"


 


Selesai..