Pernahkah anda mendengar seorang komentator sepakbola di televisi berkata, "Selamat menyaksikan partai final EURO 2012, antara tim nasional FIGC melawan tim nasional RFEF.?" Saya yakin hal tersebut hampir mustahil terjadi. Kalimat yang lazim terucap adalah, "Partai final antara tim nasional Italia melawan tim nasional Spanyol".

Ada sebuah makna tersirat dari paragraf yang saya sampaikan diatas. Yaitu, istilah tim nasional akan selalu diikuti dengan nama sebuah negara, bukan institusi tertentu apalagi nama orang. Karena sebuah tim nasional tidak hanya bertanggung jawab kepada seseorang atau institusi tertentu, melainkan kepada bangsa dan negara. Oleh karena itu siapa saja berhak untuk mengkritisi tim nasional Indonesia.

Selama memiliki kartu tanda penduduk Indonesia, walau tak begitu mengerti siapa Ketua Umum PSSI nya, berhak mengkritik para pemain tim nasional, saat mereka bermain jelek. Selama memegang paspor berwarna hijau bertuliskan Indonesia, walau tak hafal siapa Menporanya, berhak mencaci-maki tim nasional, ketika kalah bertanding. Atau, selama mereka lahir di Indonesia, walau tidak tahu siapa Presidennya, berhak bersuka-cita dan berpesta jika tim nasional Indonesia meraih kejayaan.

Seperti yang penah saya sampaikan dalam artikel (Generasi Ompong - Januari 2012), kita semua ini ternyata masih sekedar menjadi "Generasi Ompong". Iya, sebuah generasi yang hanya menelan mentah-mentah sebuah informasi, tanpa mau mengunyahnya tersebih dahulu, persis seperti orang yang sudah ompong. Celakanya lagi, hal tersebut diperkeruh dengan adanya golongan yang saya sebut dengan nama, "Sangkuni" (Tokoh licik yang selalu menghasut dalam cerita pewayangan). Sebuah golongan yang suka mengaburkan fakta, mengabarkan yang salah, serta menjadikan informasi sebagai alat propaganda.

Tidak semuanya demikian memang. Akan tetapi kita tidak dapat lari dari kenyataan, bahwasanya media-media di negeri ini baik media cetak, online maupun televisi sudah sejak lama terkotak-kotak. Saya sangat mengapresiasi positif mereka yang masih bersih dan netral tanpa ada muatan apapun. Sehingga mengatakan benar jika memang benar, dan mengatakan salah jika memang salah. Akan tetapi sayangnya jumlah media yang bersih tersebut masihlah minoritas. Kebanyakan masih saja terus menari-nari dan mencari keuntungan, diatas segala konflik yang terjadi di dalam persepakbolaan negeri ini.

Lagi lagi dan lagi, serta untuk yang kesekian kalinya. Dengan segala rasa hormat dan kerendahan hati, juga demi kebaikan serta kenyamanan bersama. Mari kita panggil tim nasional sepakbola Indonesia, cukup dengan nama Tim Nasional (TITIK...!!!). Karena sekali lagi, istilah tim nasional dengan sendirinya akan diikuti dengan nama sebuah negara.

"Tim Nasional itu Indonesia, bukan timnas PSSI atau timnas KPSI. Tim nasional itu Merah-Putih, bukan timnas  biru atau timnas kuning. Dan tim nasional itu bukan milik Djohar Arifin atau milik La Nyalla, melainkan milik seluruh rakyat Indonesia..

Tidak bisa kita pungkiri, jika cara penyebutan istilah tim nasional oleh media-media di negeri ini, telah membuat perpecahan opini di kalangan masyarakat. Segala pengabaran, penamaan atau penyebutan yang salah, telah membuat masyarakat turut hanyut dalam arus perseteruan. Padahal seharusnya rekan-rekan media paham, bahwasanya apapun yang mereka sampaikan dapat membentuk opini publik yang teramat sangat kuat.

Walau sejujurnya, apapun yang dikabarkan tetap saja akan menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Akan tetapi jika kita mengabarkan sesuatu secara benar, apa adanya serta tanpa ada muatan apapun. Maka setidaknya kita sudah menjalankan tanggung jawab moral kita sebagai seorang pewarta..

Seperti masalah tim nasonal misalnya. Penyebutan nama tim nasional tanpa ada embel-embel apapun, akan membuat semua pihak merasa nyaman. Hal tersebut membuat tidak ada pihak yang merasa di menangkan, juga di kalahkan. Karena sejatinya, jika ada pihak-pihak yang merasa di menangkan atau di kalahkan dengan bersatunya pemain di tim nasional, maka mereka adalah orang-orang yang bodoh. Dua tahun sibuk bergelut dalam konflik yang tidak menentu arah tujunya, membuat kita semua telah menjadi orang-orang yang kalah.


Di tengah situasi yang semakin hari semakin kritis ini, tim nasional adalah media paling pas untuk menjadi pemersatu. Tim nasional adalah wajah persepakbolaan negeri ini. Oleh karena itu, posisi tim nasional sudah seharusnya berada lebih tinggi dari segala konflik yang terjadi selama ini.


"Jika ada pihak-pihak yang merasa di menangkan atau di kalahkan dengan bersatunya pemain di tim nasional, maka mereka adalah orang-orang yang bodoh"

Seperti saya sendiri misalnya, perjuangan saya bersama Persija Jakarta untuk mengembalikan legalitas, sampai saat ini masih menemui jalan buntu. Walaupun hasil sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur menyatakan bahwa "Persija Jakarta Hanya Satu", akan tetapi sampai saat ini PSSI masih saja keras kepala dan mengelak dari kenyataan tersebut.

Perjuangan untuk mengembalikan legalitas Persija Jakarta akan tetap berlanjut. Akan tetapi untuk saat-saat yang sangat krusial seperti ini, dimana AFF Cup sudah berada dipelupuk mata, maka tim nasional harus menjadi sebuah prioritas. "Sebuah kesalahan tidak harus dibalas dengan kesalahan yang lain. Sebuah kejahatan tidak juga harus dibalas dengan kejahatan yang lain". Karena jika kita terus melakukan kesalahan demi kesalahan, maka tidak akan pernah ada ujungnya.

Saya ingat sebuah kata-kata bijak yang berbunyi:

"Apakah kita harus membunuh orang, untuk menunjukkan kepada orang, jika membunuh orang itu adalah sebuah kesalahan"..

Oleh karena itu, bergabungnya saya ke tim nasional tidak ada hubungannya sama sekali dengan apa itu yang namanya nasionalisme, patriotisme, profesionalisme, fanatisme, egoisme atau me me me yang lain. Semua ini lebih kepada, "Menempatkan setiap permasalahan pada tempat yang semestinya. Serta memberikan prioritas untuk sebuah kepentingan yang lebih besar".

Selama ini kita semua sudah sudah terlalu banyak melakukan kesalahan. Selalu mencari-cari kesalahan, berusaha saling menjatuhkan bahkan mencoba untuk saling membunuh. Sampai kapan kita akan terus melakukan hal-hal salah tersebut. Jika kita tidak segera melakukan perbaikan, maka mimpi jutaan rakyat Indonesia akan terkubur oleh angkara murka yang kita buat serta pelihara sendiri.

Maka mari kita mulai berbicara dengan konteks yang lebih luas. Tidak lagi hanya dalam lingkup kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Sekali lagi, dengan segala rasa hormat serta kerendahan hati, mari kita menyebut tim nasional Indonesia cukup dengan "Tim Nasional", karena Tim Nasional Itu Indonesia....

Selesai..